[ 16.06.2020 ] Entah mengapa, jelang kelahiranmu aku dilanda kehabisan stok nama yang kurasa pas untukmu, yang menarik. Maka berbeda dengan kakak-kakakmu yang telah disapa dengan namanya sejak hari pertama kelahirannya, dirimu baru menyandang nama secara resmi, sehari sebelum di aqiqah pada hari ketujuh selepas kelahiranmu. Kami bersepakat menamaimu Khadijah Padauleng Tenri Ajeng.
Selain perihal nama, dirimu juga memiliki proses kelahiran yang mendebarkan. Bersamaan dengan azan subuh berkumandang, 09 Juni 2020, ketubanmu pecah. Maka seusai menunaikan salat subuh, aku bergegas mengantar ibumu ke rumah sakit bersalin. Pilihan pertama adalah RSIA Ananda, tempat ibumu saban hari mengecek kesehatan kandungannya, untuk mengetahui kondisimu di dalam rahimnya.
Kurang seperempat jam dari pukul enam kita tiba di RSIA ananda, jalanan di depan IGD yang seharusnya bersih dari kendaraan, diisi oleh 3 mobil yang mengantri. Tanda-tanda kurang bersahabat ini, gumamku. Setelah menanti beberapa menit tapi tak juga ada pergerakan kendaraan, ibumu memutuskan untuk turun dan mengecek ke dalam IGD, sementara aku memilih mundur dan mencari tempat parkir di gedung sebelah, di parkiran poliklinik.
Barusan kusempurnakan posisi parkir kendaraan, ibumu berteriak dari teras IGD mengabarkan dirinya tak bisa melahirkan di situ, ruang bersalin penuh dengan perempuan berperut buncit, mengantri untuk mengeluarkan bayi-bayi dengan bantuan dokter-dokter. Maka segera saja kembali kujalankan kendaraan meninggalkan parkiran, menuju titik di mana ibumu telah menanti sambil menahan ngilu.
Kugeber kendaraan menuju ke arah barat, yang kami tuju adalah jalan Veteran Selatan, sambil berdiskusi, di mana gerangan dirimu akan dilahirkan. Ibumu memilih mengarah ke Rumah Sakit Bersalin Khadijah 1 Makassar di kawasan Lapangan Karebosi. Begitu tiba di sana, suasana lebih ramai. Bahkan, ibu-ibu hamil yang mengantri di depan loket pendaftaran, mengular sampai ke pinggir jalan. Aku kian panik, meski tak kutunjukkan pada ibumu. Lalu entah dari mana, kami mendapatkan informasi bahwa ada rumah sakit bersalin di dekat situ, pas di pengkolan depan Gejera Katedral Makassar, namanya Rumah Sakit Bersalin Kartini.
Di Kartini, kami disambut seorang petugas pria berwajah teduh, janggut tipis menghias wajahnya yang tirus, tingginya sejangkung diriku. Dengan cekatan, ia mengeluarkan selembar kertas ceklis kesehatan awal, maklum era pembatasan sosial karena Covid-19. Begitu selesai, ibumu dibolehan masuk ke ruang bersalin, membersamai enam orang ibu hamil lain, yang hanya dibatasi tirai kain tebal. Suara rintihan, terdengar bersahutan.
Bidan langsung bertindak, hasil diagnosanya, air ketuban telah menipis, pembukaan mulut rahim baru sampai di tahap dua. Segera ia menghubungi dokter, sambil menyarankan ibumu berbaring ke sisi kiri untuk menghemat aliran ketuban keluar. Dokter mengusulkan, operasi, kau akan dikeluarkan melalui perut ibumu yang dibelah.
Mendengar itu, kutatap wajah ibumu, kuserahkan padanya untuk memilih yang terbaik untuk dirinya, pun untukmu. Segera ia menelepon ibunya, perempuan bersahaja yang kemudian engkau sapa Dato'. Beliau mencoba menguatkan agar melahirkan saja dengan normal, dan memberi beberapa saran serta doa bagaimana mempercepat pembukaan mulut rahim. Saat itu jarum jam bertengger di pukul 10 pagi, pembukaan bergeser ke empat.
Aku juga mencoba menghubungi tantemu, adikku yang sekarang kau selalu panggil Puang Ina. Ia melahirkan empat orang anaknya dengan normal, hanya dengan bantuan bidan, di rumah. Maka dia wariskanlah sepenggal doa dari Alquran yang langsung kurapal, lalu kutiupkan ke ubun-ubun dan pusar ibumu. Meski tetap saja, prosedur operasi mulai dijalankan. Aku menandatangani pernyataan kesediaan, ibumu diminta berpuasa, lengannya dipasangi jarum dan selang infus, golongan darahnya dipastikan.
Dengan berat hati kuhubungi adik lelaki ibumu -engkau menyapanya Tetta Pasang, untuk bersiap di bank darah PMI, apabila sewaktu-waktu operasi dijalankan, dan ibumu butuh transfusi darah. Lelaki yang belakangan hari sering menggodamu dengan sapaan Bu Ija, dengan cepat menyiapkan dua kantong darah dan diserahkan ke petugas ruang operasi. Sebagai tindakan jaga-jaga. Aku mondar-mandir di depan ruang bersalin, sambil sesekali mengecek kondisi ibumu.
Engkau tahu? Pada saat yang sama, aku juga masih disibukkan membantu kedua kakakmu, Fatimah dan Aditya yang sementara mengikuti ujian akhir semester secara daring. Betapa kusutnya pikiranku. Kedua kakakmu telah berada di rumah dato'mu beberapa hari yang lalu, sejak ibumu meyakini bahwa dirimu akan segera hadir. Soal-soal ujian yang masuk ke HP ibumu, lalu kuteruskan ke HP dato'mu, yang lalu membantu kedua kakakmu menjawab soal-soal itu.
Jeda dari urusan ujian kakakmu, kusempatkan kembali masuk ke ruang bersalin. Sungguh suasananya begitu menegangkan, ada enam orang yang bersiap melahirkan, dan cuma seorang bidan yang bersiap melayani. Kudekati ibumu, dia berusaha tersenyum meski kutahu dia menyembunyikan linu. Dia berbisik, "Kak, tolong panggil bidannya, kayaknya anak ini akan lahir." Sigap aku keluar mencari bidan.
Bidannya yang sedang menenangkan keluarga pasien lain, kudekati dan segera disampaikan maksudku. "Bu, sepertinya istri saya akan melahirkan."
"Belum itu Pak, tadi baru pembukaan empat, itu butuh waktu lama."
"Tapi dia merasa pembukaannya bertambah."
"Oke, nanti saya cek."
Aku balik kanan, menemui kembali ibumu dan menyampaikan jaminan dari bidan bahwa persalinan masih akan lama, dan bidan akan segera datang menemuinya lagi.
Berbilang menit, kembali ibumu meminta aku memanggil bidan. Bergegas kembali kutemui bidan dan memintanya memeriksa ibumu, dan meyakinkan bahwa insting ibumu kemungkinan benar, bahwa dia akan segera melahirkan. Terlihat bidan meragu, aku greget seakan ingin segera menyeretnya ke ruang bersalin, mungkin karena itu, bidan memutuskan untuk mengecek keadaan ibumu.
Begitu tiba di bilik ibumu berada, cekatan bidan melakukan pemeriksaan, mukanya tiba-tiba menegang, "Wah, betul akan segera melahirkan." Gumamnya.
Segera ia menyiapkan alat dan peralatan yang dibutuhkan, melepas infus dari lengan ibumu, memintaku menyiapkan beberapa lembar sarung. Setelah semua siap, bidan memasang kaus tangannya, dan berseru, "Tolong, bapak membantu saya menolong ibu melahirkan.
"Apa yang harus kulakukan?" Aku bingung.
"Ikuti saja instruksi saya, Pak."
Alhamdulillah, tak butuh waktu lama, hanya sekira sepuluhan menit, dirimu lahir melihat dunia. Setelah dibersihkan oleh bidan, dan lalu kuazankan, dirimu diserahkan pada ibumu. Setelah mengecek kondisi ibumu, kumanfaatkan waktu menelepon ke Bone dan Takalar, mengabarkan hadirmu. Bayi mungil berjenis kelamin perempuan, dan belum diberi nama.
Muka bidannya semringah, dia segera menelepon dokter dan menyampaikan bahwa operasi tidak jadi, karena anaknya telah lahir dengan normal. Aku memilih menjalankan prosedur administrasi pembatalan operasi. Setelah beberapa lama, dirimu dan ibumu, dipindahkan ke ruang perawatan di lantai dua rumah sakit. Suasana lebih lengang, dan bau cat dinding masih terasa secara samar menampar-nampar penciuman. Ini ruang perawatan baru, dan belum banyak pasien.
Setelah kamu dan ibumu mulai tenang di pembaringan, aku baru sadar belum mandi dari pagi, padahal ini sudah jelang pukul empat sore. Aku tak terbiasa mandi sore, maka aku memilih hanya mengelap badan dengan handuk basah, lalu berganti pakaian. Setelahnya, aku rebahan untuk mengistirahatkan raga, tak boleh ada keluarga pasien lain yang berjaga, hanya satu orang. Bahkan saat kakek dan nenekmu datang dari Takalar, mereka hanya sampai di teras rumah sakit.
Besoknya, nenekmu --Dato' Ti'no-- datang lagi, diputuskan aku pulang ke rumah, dan tugas berjaga diambil alih olehnya. Tapi sebelum itu, aku mengurus administrasi kepulanganmu. Kita merasa tak betah berlama-lama di rumah sakit, suasana pembatasan sosial karena wabah covid-19 membuat rumah sakit menjadi tempat yang sunyi dan mencekam, termasuk rumah sakit bersalin. Perawat bilang, yang penting hasil observasi dokter menyimpulkan semua normal, kamu dan ibumu akan boleh pulang di siang hari.
Setelah administrasi selesai, aku pulang ke rumah, tentu saja bukan untuk istirahat, tetapi menyiapkan segala sesuatunya, untuk menyambut kedatanganmu di rumah. Meski telah berkali-kali kubilang, tetap saja kuulang, agar kakak-kakakmu ingat, jangan terlalu gaduh bila dirimu sudah di rumah, bayi rentan kaget. Mereka mengangguk tegas, seakan ingin mengatakan, apapun akan mereka lakukan demi adik yang mereka nanti-nantikan.
Maka tepat pada Rabu (10 Juni 2020) siang, sehari setelah kelahiranmu, dirimu resmi menjadi penghuni rumah mungil kita, hadir saat pemerintah lagi getol-getolnya menerapkan pembatasan sosial, dan berbagai kegiatan di dunia nyata, diganti menjadi aktivitas di dunia maya. Sisi positifnya, kita semua punya waktu lebih banyak untuk selalu bersama sepanjang waktu.

0 Komentar