Belajar Dari Secangkir Kopi


 “Jadilah melengkung, engkau akan tetap lurus” —Lao Tzu

Anda mungkin pernah melihat seorang Aparatur Sipil Negara yang sebelum jadi Pegawai Negeri Sipil atau di awal-awal masanya sebagai Pegawai Negeri Sipil begitu disiplin, progresif, pekerja keras dan penuh inovatif, namun di tengah perjalanan kariernya menjadi begitu melempem, masa bodoh dan selalu melakukan tindakan indisipliner, terutama terlambat masuk kantor.

Beberapa pihak menengarai bahwa problemnya adalah kebosanan, sehingga perlu ada mutasi dan rotasi di kantor tersebut. Namun setelah rotasi dan mutasi dilakukan, pegawai tersebut masih saja tidak berubah, kinerjanya masih tetap rendah, maka ini menimbulkan pertanyaan, “Ada apa gerangan?”

Keadaan ini dipengaruhi, salah satunya, oleh kemampuan yang bersangkutan untuk beradaptasi dengan dunia kerja. Terkadang, kemampuan dalam bersikap untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan membuat seseorang menjadi frustasi, stres dan kecewa dengan diri sendiri. Hal ini karena mereka telah merasa gagal untuk berpegang teguh pada idealisme awal, dan merasa terjebak pada situasi yang dianggapnya bermasalah.

Secara sederhana, setidaknya ada tiga model reaksi seseorang ketika menghadapi masalah, termasuk seorang Aparatur Sipil Negara yang menghadapi berbagai kondisi di lingkungan kerja di mana mereka beraktivitas. Model reaksi itu diabstraksikan dengan menjadi seperti wortel, seperti telur, atau menjadi seperti kopi yang dimasukkan ke dalam air mendidih.

Bila masalah yang dihadapi di lingkungan kerja diibaratkan air mendidih, maka respon berbeda akan terlihat dari wortel, telur ataupun kopi yang merepresentasikan respon si Aparatur Sipil Negara. Sebuah wortel, apabila dimasukkan ke dalam air mendidih, maka setelah dididihkan selama 15 menit, wortel yang sebelumnya keras dan kaku, menjadi lembek, rapuh, dan mudah patah.

Sebutir telur yang dididihkan dengan waktu yang sama, akan memberikan respon berbeda. Telur yang sebelumnya lembut, bahkan encer, akan mengental dan menjadi keras. Sedangkan sesendok bubuk kopi yang dididihkan, akan hanyut dan larut dalam air, namun airnya menjadi beraroma kopi dengan citarasa kopi yang kuat.

Ketika kita menghadapi masalah di lingkungan kerja, kita bisa menjadi seperti wortel, seperti telur atau seperti kopi. Kondisi yang digambarkan di awal, merupakan ciri-ciri Aparatur Sipil Negara yang bergaya wortel. Mereka masuk dengan semangat yang keras dan tekad yang kuat, serta begitu teguh memegang idealisme, dan hasrat untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, mereka menjadi apatis, cuek, bahkan mengalami kejenuhan akut. Mereka berakhir dengan kondisi lunak dan lemah, mengalami kelelahan, kehilangan harapan, dan menyerah pada keadaan. Mereka kehilangan semangat juang dan menjadi seperti wortel yang matang.Bukankah kondisi ini demikian memprihatinkan?

Selain mereka yang bergaya wortel, sebagian Aparatur Sipil Negara ada juga yang bergaya telur. Pada awal mereka masuk, hatinya begitu peka, dan mereka adalah orang-orang yang berlemah lembut terhadap sesama. Melayani dengan ikhlas dan tulus hati. Namun seiring berjalannya waktu, mereka berubah menjadi orang yang ketus dan tanpa perasaan.

Mereka menjadi Aparatur Sipil Negara yang kehilangan kehangatan, bahkan cenderung membenci dan menyalahkan orang lain atas kondisi yang dialami. Tak jarang mereka menjadi kecewa dan membenci diri sendiri. Mereka menjelma menjadi telur rebus. Hati mereka menjadi beku karena tak mampu menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi dan lingkungang kerja.

Hanya sedikit di antara Aparatur Sipil Negara yang mampu menjadi seperti kopi, padahal inilah yang seharusnya terjadi. Kopi memang larut dalam air yang mendidih, namun yang terjadi sungguh luar biasa, bukan air yang mengubah kopi, malah sebaliknya, airlah yang berubah karena kopi. Bukan kondisi bobrok yang mengubah seorang pelayan publik, seharusnya, pelayan publiklah yang memperbaiki keadaan.

Tentu bukan dengan cara menyerah dan mengendurkan idealisme seperti wortel, pun bukan dengan cara memaksakan kehendak dan melakukan perubahan secara terburu-buru, sebagaimana telur, sebab ini bisa membuat kecewa berkepanjangan. Melainkan dengan cara-cara persuasif, sebagaimana melarutnya kopi ke dalam air mendidih.

Kita menyelami masalah yang ada, mencari akar masalah dan membangun solui konstruktif dari sana. Dengan cara seperti ini, maka makin panas airnya makin nikmat rasa kopinya. Makin rumit masalahnya, makin fokus kita mendalami, makin cemerlang solusi yang ditawarkan, dan kita akan menjadi pribadi yang kian tangguh. Kita menjelma menjadi seperti kopi.

Kita menjadi pribadi-pribadi yang kreatif dan inovatif, mampu menciptakan sesuatu yang indah dari kondisi sulit yang melingkupi. Kita menceburkan diri dalam masalah bukan karena kalah atau kecewa, tapi kita melibatkan diri untuk belajar. Dengan menceburkan diri dalam masalah, kita mendapatkan pengetahuan, keahlian dan kemampuan baru. Kita menjadi Aparatur Sipil Negara yang belajar dari pengalaman.

Peningkatan kinerja pelayanan publik, perbaikan kualitas dan efektivitas mesin birokrasi hanya bisa dilakukan bila pemerintahan diisi oleh Aparatur Sipil Negara yang bermental kopi. Kebiasaan coffee morning, sejatinya jangan hanya untuk memenuhi formalitas manajerial, begitupun tradisi mangkal di warung kopi jangan sekadar untuk menikmati secangkir kopi panas, tapi sejatinya, untuk menghayati filosofi kopi.

Seperti kata Lao Tzu yang dikutip di awal tulisan ini, “Jadilah melengkung, engkau akan tetap lurus”. Untuk meluruskan sesuatu yang melengkung, sejajarkan dirimu, selami masalahnya, kenali penyebabnya, dan luruskan secara perlahan. Sebab untuk bertahan dalam jalan lurus, kita tak boleh segan untuk belajar melengkung, namun tak sampai bengkok.

Para tetua kita di tanah Bugis juga berujar, “Tempettu maompéngngé, teppolo massellomoé” (ᨈᨛ ᨄᨛᨈᨘ  ᨆᨕᨚᨇᨙᨂᨙ᨞  ᨈᨛ  ᨄᨚᨒᨚ  ᨆᨔᨛᨒᨚᨆᨚᨕᨙ᨞). Pesan yang bermakna bahwa tak putus yang kendur, dan tak patah yang lentur ini, mengingatkan kita akan pentingnya kemampuan untuk mengetahui kapan harus mengendur dan kapan melengkung. Sebab kemampuan inilah yang akan membantu kita mengenali waktu yang tepat kapan harus tegas, dan bergegas meluruskan keadaan.

Tayang juga di BengkelNarasi

Posting Komentar

0 Komentar