Kelindan Demokrasi dan Glokalisasi


Terdengar ketukan di pintu depan, rupanya ada tamu yang bertandang. Ketika pintu kemudian terbuka dengan sendirinya, sang tamu memperkenalkan diri dengan suara lantang “Saya Globalisasi!”

Ya, globalisasi ibarat tamu yang datang bertandang ke rumah lokal, rumah nasional kita, Indonesia. Sebagai seorang tamu, globalisasi datang dengan membawa berbagai macam oleh-oleh yang dipersembahkan untuk tuan rumah, kita semua, rakyat Indonesia.

Globalisasi hadir menyuguhkan sebuah tata dunia yang makin terhubungkan (connected), dengan kemudahan mobilitas dan akses informasi yang metageografis. Globalisasi mengajak kita untuk menjadi warga pada sebuah dunia yang disatukan dalam sebuah kampung dunia (global village) dengan limpahruahan bangunan budaya global yang serba wah.

Kalau ditilik lebih serius, akan ditemukan fakta bahwa globalisasi hadir dengan tiga wajah, globalisasi di ranah politik, ekonomi dan kebudayaan.

Di ranah politik, globalisasi mengejawantah dalam bangunan politik demokrasi. Di ranah eonomi, globalisasi hadir dalam bentuk perdagangan bebas. Sementara di ranah kebudayaan, globalisasi mewujd dalam bentuk bangunan kebudayaan “pop culture” dan “mass culture”.

Pro-Kontra Globalisasi

Kehadiran globalisasi bukannya tidak menimbulkan riak pada ketenangan batin tuan tumah Indonesia. Pro dan kontra muncul secara bersamaan sebagai respon atas kedatangan globalisasi.

Tak sedikit yang tergiur dengan berbagai macam ‘kemewahan’ yang ditawarkannya, namun tak kurang pula yang memandang sinis dengan efek negatif yang ditengarai sebagai dampak dari globalisasi.

Memang globalisasi membuka kran kebebasan akses dan kemudahan mobilisasi, tapi pada sisi yang lain, globalisasi -sebagaimana disinyalir oleh Irwan Abdullah, antropolog UGM- memaksa struktur masyarakat dan struktur kebudayaan lokal untuk bergeser dari situasi sistem kemasyarakatan yang terbatas atau bounded system menjadi sistem kemasyarakatan yang tanpa batas atau borderless system.

Sebuah situasi yang menguntungkan pasar bebas kapitalisme tanpa memperdulikan apakah orang-orang yang hidup dalam kedua struktur tersebut sudah siap atau belum.

Bila sebelumnya, masyarakat lokal hidup dengan ciri khas kesederhanaan dimana minat atau nilai yang dianut oleh anggotanya relatif sama, adanya persamaan ekologi dan lokalitas serta sistem atau struktur sosial yang sama.

Kehadiran globalisasi menjungkirbalikkan semua itu menjadi diversitas nilai dan makna hidup yang dianut, melambatnya proses pembentukan nilai bersama dan yang paling menakutkan adalah hilangnya humanitas.

Para pengkritik globalisasi seperti Frederic Jameson pernah berujar bahwa globalisasi dengan senjata utamanya teknologi informasi (information technology) telah menggeser nilai dasar kultur lokal masyarakat berupa moralitas, keimanan atau makna luhur yang dipahami secara mendalam menjadi sebuah bangunan kultur yang mengglobal dengan warnanya yang bersifat tidak punya kedalaman (depthlessness) sebuah konsentrasi pada bentuk (style) dan permukaan (surface).

Ketika individu telah menjadi penduduk dari global village, maka identitas lokal dan nasional menjadi tidak signifikan. Apalagi diperparah dengan tidak berfungsinya lagi kesadaran akan nation state sebagai sebuah —meminjam istilah Ben Anderson— imagined communities.

Dalam konteks lokal, identitas keindonesiaan (sebagai identitas nation state) dan semangat patriotisme serta nasionalisme telah mati, tertikam oleh semangat dunia baru yang makin terhubungkan (connected).

Demokrasi Dalam Globalisasi

Tujuan utama demokrasi adalah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Ini diwujudkan dalam proses politik yang mengedepankan pemberdayaan parlemen dan masyarakat, tegaknya tata pemerintahan yang baik, anti korupsi, bersendikan transparansi dan akuntabilitas.

Berbicara tentang demokrasi dalam arus globalisasi memang terkesan ambigu, di satu sisi arus globalisasi terutama globalisasi ekonomi yang muncul dengan wajah liberalisme ekonomi (pada hari ini lebih dikenal neo-liberalisme) dicurigai akan menjadi musuh dan penghambat utama demokratisasi.

Bonni Setiawan bahkan mengungkapkan bahwa bila terjadi konflik antara demokrasi dan agenda liberalisme ekonomi, maka kaum neoliberal akan memilih untuk mengorbankan demokrasi.

Namunpun demikian, pada sisi yang lain terlihat bahwa demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang memungkinkan adanya peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengelolaan negara dan jalannya roda pemerintahan, akan mengalami percepatan perwujudan dengan adanya globalisasi.

Taruhlah misalnya, keterbukaan informasi dan kecepatan akses yang di dorong oleh globalisasi melalui perkembangan teknologi informasi akan mempengaruhi tingkat partisipasi aktif warga dalam proses politik.

Globalisasi juga sangat memberi ruang bagi bertumbuh dan berkembangnya nilai dan semangat ke-lokal-an.

Bahkan apa yang selama ini hanya dipahami sebagai sesuatu yang lokal dapat menjadi anutan bersama di tingkat global, telah terjadi proses “glokalisasi”. Ini terjadi karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang kian mengglobal memungkinkan terjadinya proses digitalisasi kebudayaan.

Bila liberalisme ekonomi yang dikawal dengan good corporate governance, betul-betul bisa diwujudkan dalam sebuah masyarakat dan menjadi rule of the game yang mengatur interaksi administratif di antara berbagai kelompok kepentingan yang ada (antara masyarakat pasar, politik dan sipil), diharapkan interaksi ekonomi, sosial-budaya, dan politik dapat berlangsung secara partisipatif-koeksistensif dengan semangat demokrasi.

Pada akhirnya, kondisi ini dapat membawa dampak yang positif terhadap interaksi sosial-budaya dan memberi ruang partisipasi kritis bagi masyarakat sipil yang tetap berpijak pada kearifan lokal (local wisdom) maupun keunikan lokal (local unique) yang telah diglobalkan melalui glokalisasi.

Posting Komentar

0 Komentar