Izinkanlah tulisan ini mulai digaritkan dengan ayat-ayat cadas nan liat, sebab kita memasuki Agustus 2022, sedang tak baik-baik saja. Kita dibekap utang luar negeri yang anak Sekolah Dasar kelas tiga tak bisa lagi menyebut dan menghitung angka nolnya.
Ruang pemberitaan kita pula diributi oleh kabar pembunuhan anggota polisi aktif, Brigadir J yang hilangnya atmanya terkait dengan penembakan oleh sekondannya, Bharada E dan (mungkin) juga atasannya, Irjen Pol FS.
Berjilid-jilid skenario terungkap untuk mencari titik terang mengapa Brigadir J harus berakhir berkalang tanah. Lalu, publik tak pernah bertanya, lalu apa relevansinya bagi perut mereka dan hari merdeka.
Saatnya kemerdekaan menjadi milik segenap warga bangsa, dan bukan kemerdekaan yang diaransemen para petinggi negeri. Kita tak butuh kemerdekaan gombal, seolah merdeka dari penjajah, tetapi dikendalikan oleh komprador yang oligarkis.
Kemerdekaan gincu yang diramaikan dengan pawai nan disponsori oleh gerai makanan dan/atau minuman internasional. Belum lagi lomba futsal lelaki menggunakan daster istri, lomba makan kerupuk, mengoper tepung, dan sebagainya.
Ditambah dengan derita para ibu yang anaknya masih mengenyam pendidikan dasar, sudah beberapa hari sibuk mencari kostum pawai, menelisik balon berwarna merah dan putih, serta jumbai-jumbai pita warna senada.
Lalu apa makna merdeka yang bisa direfleksikan dari seremoni dangkal sedemikian? Kehebohan yang tak berujung pangkal dan pastis? Menertawakan kebodohan dan sisi goblok kita masing-masing? Entahlah.
Perayaan dan pesta tanpa ruang refleksi tak berkesudahan ala Habermas, alih-alih menjangkau kebenaran non-reflektif versi ‘ada’ yang mengejawantah dari alitheia ala Heidegger, kita malah tergerus ke dalam belukar rutinitas 17belasan yang trivial pursuit semata.
Kondisi ini juga dilanggengkan oleh kekuasaan di level terbawah, Ketua RT misalnya. Dia sibuk menggerebek rumah warga yang tak memasang bendera merah putih, tanpa mau peduli apakah warganya punya bendera dan/atau punya tiang bendera.
Ini bukan isapan jempol semata, abainya pihak berwenang terhadap kondisi ril warganya menjelang hari merdeka, adalah fakta yang tak terbantahkan, terutama di kota besar saat harga sebatang bambu untuk tiang bendera bisa seharga 5 kilogram beras.
Fenomena ini ditemukan saat menjalankan Gerakan Pembagian 10 juta Bendera Merah Putih, beberapa warga yang disasar, lebih memilih membeli sekilo beras daripada bendera dan/atau tiangnya. Kondisi ini seakan menampar wajah kita yang ditempeli stiker merah putih di kedua sisi.
Masihkah kita bangga mengaku merdeka, saat masih ada warga bangsa yang berhadapan pada pilihan membeli bendera untuk menunjukkan nasionalisme, dan harus kelaparan. Atau memilih beli beras dan dicap tak nasionalis.
Mereka yang punya kuasa, lebih suka mengecat lorong menjadi berwarna-warni, lalu diberi jumbai warna-warni, dan diberi tulisan besar ‘Lorong Wisata’, meski dengan tanda tanya besar di benak kita, apa yang menjadi obyek wisatanya? Ada yang tahu?
Kita tak butuh euforia saat berhasil menggondol hadiah di puncak pohon pinang yang sekujur batangnya telah diolesi gemuk. Yang kita perlu adalah merdeka dari kelaparan, dan merdeka dari ketakutan akan kriminalitas sebagai efek tingginya pengangguran. Termasuk merdeka dari ketakutan akan begal.
Kita butuh merdeka yang oleh salah seorang Pahlawan Nasional kita Datok Ibrahim Tan Malaka, menyebutnya Merdeka 100%. Merdeka yang berdikari untuk mengatur pemanfaatan sumber daya sendiri, tanpa ketakutan untuk dicaplok oleh negara adidaya, maupun korporasi multinasional bersama para begundalnya.
Merdeka yang lebih peduli pada perut warga yang keroncongan, daripada sibuk mengeluarkan cap-cap tidak nasionalis, anti pemerintah, dan terpapar radikalisme pada mereka yang tak mampu untuk sekadar membeli bendera dan/atau tiangnya.
Itulah kemerdekaan yang bukan pemanis bibir semata, melainkan buah dari perlawanan. Melawan mereka yang menindas, dan melawan rasa takut yang memanjakan. Kemerdekaan yang lahir dari semangat juang bersendi, rasa sependeritaan, gotong-roying, dan kesamaan tujuan berbangsa.
Kemerdekaan yang oleh Pahlawan Nasional Hadji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto disebutnya sebagai Kemerdekaan Sejati, situasi hidup yang bersendi pada kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijkheid-equality) dan persaudaraan (broedeschap-fraternity).

0 Komentar