Menggeser Kultur Epistemologi Menjadi Epistemologi Kultural


Manusia sebagai makhluk berkesadaran memiliki satu kemampuan khas yang digunakan untuk membudayakan diri dan memberikan kontribusi untuk penyempurnaan fitrahnya menjadi pribadi yang bermartabat. Kemampuan khas itu adalah “episteme”. Kemampuan khas inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya (Lihat Q.S. 7 : 179).

Epistemologi, sebagai istilah yang dipilih untuk mewakili pengetahuan manusia diartikan dengan mendudukkan, menempatkan atau melekatkan. Maksudnya bahwa secara hakiki, epistemologi merupakan upaya dari manusia untuk membuktikan keberadaannya. Maksudnya bahwa epistemologi merupakan suatu fungsi dari cara manusia untuk berada (Lihat Q.S. 2 : 30-34).

Hal ini dapat kita saksikan dalam roda sejarah perkembangan kebudayaan dan peradaban besar dunia, tak ada satupun kebudayaan dan peradaban yang lahir, tumbuh mekar, sampai kemudian hilang diluar pangkuan epistemologi. Jadi, sejarah perkembangan epistemologi tidak pernah kering dari pergolakan kultural yang senantiasa bergelimang keringat, airmata dan darah.

Pergolakan kultural terjadi karena dalam sejarahnya, epistemologi diredusir menjadi alat (instrumen) kekuatan untuk keperluan pembenaran kekuasan (Lihat pembagian pengetahuan versi Jurgen Habermas). Pengetahuan menjadi suatu hal yang tidak pernah lepas dari kekuasaan. Bahkan relasi antara keduanya telah menjadi penggerak utama sejarah kemanusiaan hingga hari ini.

Episteme sebagai kemampuan khas manusia, tentunya telah menjadi teman jalan menusia dalam menyusur alur sejarahnya, sehingga relasi antara epistemologi dan kekuasaan adalah hal yang pasti (Lihat Q.S. 58 : 11), hasilnya dapat disaksikan melalui lahirnya peradaban besar dunia dalam pangkuan epistemologinya masing-masing.

Begitupun dengan Islam, bangunan peradabannya juga berdiri diatas bangunan epistemologi yang kemudian diklaim sebagai bangunan epistemologi Islam. Dan sebagaimana peradaban Yunani, Romawi dan barat hari ini, peradaban Islam dengan epistemologi Islamnya pun tidak pernah kering dari keringat, airmata dan darah.

Kemampuan untuk membongkar relasi antara pengetahuan dan kekuasaan, adalah kemampuan dasar yang seharusnya dimiliki untuk mencoba menganalisis sebuah bangunan epistemologi secara lebih independen dan terlepas dari tekanan kekuasaan yang menjadi induk semangnya.

Epistemologi sebagai fungsi dari cara mengada manusia, telah melahirkan bangunan kebudayaan dan peradaban besar dunia. Mulai dari kebudayaan India, Cina dan Persia sampai pada peradaban Yunani, Romawi, Islam dan Barat pada hari ini.

Namun, walaupun semua kebudayaan dan peradaban lahir dari epistemologi, ternyata antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, antara peradaban yang satu dengan peradaban yang lain, ternyata memiliki perbedaan yang khas diakibatkan oleh paradigma epistemologi yang melandasinya. Sehingga adalah hal yang sah bila muncul klaim adanya epistemologi Cina-India (paradigma monistik), epistemologi Yunani (paradigma antroposentris-kosmosentris), epistemologi Romawi (paradigma teosentris), epistemologi barat (paradigma antroposentris-logosentris) dan epistemologi Islam (paradigma teosentris).

Relasi antara kekuasaan dan pengetahuan, seringkali menyebabkan pengetahuan menjadi alat kekuasaan untuk membenarkan keberadaan suatu kekuasaan, sehingga fungsi pengetahuan sebagai alat penyempurnaan fitrah manusia menjadi pribadi yang bermartabat seringkali dilupakan.

Penyalahgunaan pengetahuan oleh kekuasaan harus dihentikan dengan mengembalikan pengetahuan pada hakikatnya bahwa pengetahuan memiliki tanggungjawab sosial untuk makin memanusiakan manusia.

Gerak laju peradaban senantiasa berjalan beriring dengan gerak laju epistemologinya. Kultur yang terbangun dalam suatu komunitas merupakkan sebuah kultur epistemologis, kultur yang memanfaatkan dan menempatkan epistemologi sebagai kekuatan untuk membenarkan eksisitensinya, sebagaimana dapat kita lihat dalam epistemologi Yunani, Romawi, barat dan epistemologi Islam. Kultur epistemologis seperti ini rentan dengan penyalahgunaan epistemologi untuk merampas hak-hak kemanusiaan.

Mengembalikan epistemologi pada tanggungjawab sosialnya, harus diikuti dengan sebuah konsep strategi dan taktik dalam melaksanakan tanggungjawab sosial tersebut. Dibutuhkan sebuah upaya menggeser kultur epistemologis menjadi epistemologi kultural sebuah epistemologi yang berbasis pada paradigma holistik.

Posting Komentar

0 Komentar