Sepi Di Subuh Yang Nyenyat


[ 15.07.2025 ] Kukira, hanya aku yang kesepian subuh ini, jalan-jalan tiada sesiapa yang lalu lalang, dengan pendar cahaya temaram tanpa lampu penerang jalan. Hanya langkah kakiku yang perlahan bergesekan dengan kerikil lepas di sepanjang jalan.

Mataku jelalatan mencoba mencerna apa gerangan di hadapan, gelap nian. Alat-alat berat yang teronggok di tengah jalan yang sedang dalam perbaikan, seperti bayang-bayang raksasa dari ingatan masa kecilku, mahluk-mahluk adikodrati yang begitu sering dijadikan ancaman dari orangtua yang gagal menertibkan anaknya.

Tak ada suara, subuh pun ikut kesepian. Suara serangga malam telah lama hilang, sejak rumpun perdu tempatnya bertengger dibabat habis demi kenyamanan pandangan. Kicau burung ikut menguap seiring bergantinya pohon-pohon dengan tiang-tiang jaringan listrik dan telepon.

Lamat-lamat, kudengar suara, begitu pelan dari arah yang kutuju. Itu suara azan yang dikumandangkan oleh muazin yang seperti kekurangan tidur, begitu parau dan pendek-pendek. Masjid tak lagi jauh, gumamku pelan, tapi terdengar nyaring di telingaku. Subuh begitu sunyi.

Namun bukan cuma aku dan subuh yang kesepian. Rupanya, masjid itu juga kesepian. Padahal, menurut data statistik yang dirilis Kementerian Dalam Negeri pada medio 2023, lebih dari 95% penduduk kabupaten ini beragama Islam. Tapi dengan berbagai alasan yang beragam, mereka tetap membiarkan masjid ini kesepian.

Padahal, semalam, kawasan sekitar masjid begitu riuh. Di depan dan disampingnya terdapat tongkrongan yang tak pernah sepi hingga larut malam. Berjubel pengunjung menikmati berbagai penganan atau sekadar menyeruput secangkir kopi. Termasuk aku, semalam ikut nongkrong di salah satu tempat itu.

Tanya lalu bergelayut di hatiku, kemana gerangan manusia-manusia yang berlomba-lomba memakmurkan tempat-tempat itu, semalam? Mengapa mereka tak hadir, dan ikut meriuhkan masjid-masjid yang kesepian di subuh yang nyenyak? Apakah mereka masih terlelap? 

Padahal, terang benderang perintah Tuhan dan anjuran nabiNya agar umat manusia berlomba-lomba memakmurkan rumahNya. Itupun dengan iming-iming pahala dan kenikmatan tepermanai dinsurha nanti, kelak. Bukankan itu jaminan yang pasti dan bersifat kekal nan abadi?

Sementara bujuk rayu meramaikan tongkrongan lahir dari iklan-iklan yang begitu delusif. Sayangnya, sebagian kita lebih percaya pada seduksi dan bujuk rayu yang menghadirkan simulakra kenikmatan itu. Rela menghabiskan malam-malam nan panjang entah untuk apa.

Lalu kita terlelap, menuntaskan mimpi yang tertunda, mementaskan tidur yang terjeda, saat kita seharusnya terjaga dan memenuhi undangan Tuhan untuk meriuhkan subuh serta meramaikan rumahNya. Maka demikianlah, masjid dibekap sepi dan dirangkul sunyi.

Di sini, bersama lima orang jamaah lain, kami berusaha memecah sunyi dan menghalau sepi di masjid yang lengang. Meski dengan bacaan Al Fatihah yang tertatih oleh imam bersuara parau, seperti letih menghadapi senyap ini sendiri. Ya, kami mencoba menyayat senyap dengan sahutan 'aamiiin', meski serak.

Tampaknya, subuh memang diciptakan untuk kesepian. Sebab justru di sanalah letak misteri iman itu, dalam pekat malam yang mulai beranjak pergi. Saat lamar-lamat kau rasakan lantunan firman Tuhan menelusuk ke gendang telinga, tanpa cemaran suara lain.

Maka subuh adalah persekutuan bagi pihak-pihak yang kesepian, mereka yang bisa mendengarkan suara-suara yang tak pernah diucapkan, dan menikmati bunyi-bunyi sublim yang belum pernah digubah. 



Posting Komentar

0 Komentar