Ketika Paulo Menuntunmu Ke Tepi Sungai Piedra





[ 11.07.2025 ] Apa iya, cinta mirip dengan bendungan? Bagiku, ini sungguh perumpamaan yang unik tentang cinta. Biasanya, cinta dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat romantik dan melankolis. Tapi bagi Paulo Coelho, permisalan dan pengandaian akan cinta, menjadi begitu kaya. 

Seperti perumpamaan cinta dengan bendungan. Melalui mulut Pilar -tokoh utama perempuan dalam novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis, Paulo mengaduk-aduk emosi pembaca dengan permisalan yang 'mempermainkan' perasaan.

Simaklah solilokui Pilar, 'Namun cinta itu mirip bendungan: jika kau membiarkan satu celah kecil yang hanya bisa dirembesi sepercik air, percikan itu akan segera meruntuhkan seluruh bendungan, dan tak lama kemudian tak seorang pun bisa mengendalikan kekuatan arusnya' (h. 49).

Lihatlah, betapa lihai Paulo meyakinkan kita bahwa cinta, ya cinta yang selama ini kita kenal, memang mirip sebuah bendungan, bangunan yang diwujudkan untuk menahan aliran air. Maka seseorang yang mencinta, ibarat berjalan melintasi badan bendungan, mengontrol pintu air dan bangunan pelimpah.

Bila permukaan air bendungan mulai melimpah, itu alamat kita harus segera membuka pintu dan mengalirkan air melalui bangunan pelimpah agar arusnya tak membahayakan. Bila limpahan tak terkendali, bisa saja, akan menghanyutkan semuanya, termasuk penjaga pintu air.

Pilar dengan lihai mengatakan begini, 'Setelah bendungan itu runtuh, cinta pun mengambil kendali, dan apa yang mungkin ataupun tidak, tak lagi berarti; bahkan bukan masalah apakah orang yang kita cintai itu tetap di sisi kita atau tidak. Mencintai berarti kehilangan kendali' (h. 49).

Kekhawatiran Pilar akan runtuhnya bendungan di hatinya, bermula dari datangnya sepucuk surat dari seorang lelaki di masa lalunya. Lelaki yang selama ini coba Pilar hapus dari ingatannya, mengabarkan bahwa ia akan memberi kuliah di Madrid pada Sabtu 4 Desember 1993, dan meminta Pilar datang.

Tersebab warkat itulah, Pilar bergegas meninggalkan Zaragoza, tempat yang telah ia pilih untuk menjalani hidupnya bersama kenangan tentang lelaki itu. Ia menuju Madrid, semata untuk membuktikan apakah lelaki itu masih seperti yang ia kenal dulu, atau telah melupakannya.

Pilar tak tahu bahwa ia akhirnya akan menyadari sebuah kebenaran, 'Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya' (h. 51). Ia yakin bahwa ia akan mampu berteguh untuk menolak apapun yang ditawarkan lelaki itu, dan memilih kembali ke Zaragoza.

Sayangnya, begitu mereka berjumpa, Pilar mulai meragukan apa yang selama ini ia yakini. Pintu hatinya yang telah ia gembok besar, mulai longgar. Tak sadar, retakan yang tak lebih dari sehelai rambut, mulai muncul dan menggerogoti bendungan di kalbunya, lalu air mulai merembes.

Senyum lelaki itu, meski ditanggapi dengan muka datar, perlahan mengikis pertahannya. Ajakan lelaki itu, pengkhotbah muda yang telah menempuh perjalanan panjang mendalami agama untuk menjelajah dari Madrid ke Bilboa, mengunjungi kapel Saint-Savin-en-Lavedan, dekat San Martin de Unx, disanggupi oleh Pilar.

Meski kemudian Pilar tak henti mencoba menasehati, bahkan menegaskan pada dirinya sendiri, 'Berhati-hatilah, waspadalah terhadap retakan di bendungan. Jika retakan itu muncul, takkan ada apa pun di dunia ini yang bisa menghentikannya' (h. 67), ia akhirnya luluh.

Saat itulah, Pilar lalu mencoba berdamai dengan membangun argumen yang menjadi semacam apologia bagi sikapnya untuk menyambut uluran tangan pengkhitbah muda itu. Meski di permukaan, ia seolah enggan, dan hanya mengikut ke mana lelaki itu, agar ia bisa menyaksikan 'Perayaan Maria yang Dikandung Tanpa Noda'.

Perayaan yang dilakukan tiap 8 Desember dan disahkan pertama kali oleh Gereja pada tahun 1476 di era kepemimpinan Paus Siktus IV, didasarkan pada konsepsi imakulata (immaculata conceptio) yangg meyakini bahwa Bunda Maria dibebaskan dari dosa asal sejak ia dikandung atau sejak konsepsinya.

Pengkhotbah muda itu meyakinkan pilar akan pentingnya Doktrin Maria Dikandung Tanpa Noda dengan begitu persuasif bahwa Bunda Maria adalah entitas yang tak kalah dari Allah Bapa, Yesus, dan Roh Suci. Ia berseru, 'Salah satu wajah Tuhan adalah wajah wanita' (h. 81), lalu, 'Tuhan-jika Tuhan sungguh-sungguh ada- adalah Allah Bapa sekaligus Bunda Ilahi' (h. 91).

'Kau harus tahu bahwa wanita ini -Bunda Ilahi, Sang Perawan Maria, Shechinah, Bunda Agung, Isis, Sofia, budak dan ibu majikan- ada di dalam semua agama di muka bumi ini. Ia telah dilupakan, dilarang, disembunyikan, namun pemujaan terhadap diri-Nya terus ada dari satu milenium ke milenium berikutnya dan tetap berlangsung hingga hari ini' (h. 81).

Mendengar kalimat-kalimat teduh dari lelaki yang senyumnya menggetarkan bendungan hati Pilar, alih-alih larut dalam kesyahduan yang merembet dari dogma itu, dia malah bergumam lirih, 'Kalau Tuhan adalah kasih, seharusnya Dia lebih memedulikan perasaan-perasaanku' (h. 68).

Pilar memilih menekan geletar-geletar halus yang mengayun kesadarannya untuk mengakui bahwa rasa cinta itu mulai bocor dan merembes di hatinya, dan berusaha menyakinkan diri bahwa lelaki itu adalah kenangan indah yang berumah di masa lalu, cukup di sana, di Zaragoza.

Sayang, perang itu kian berat sebelah, Pilar tak mampu bermain di dua sisi, sementara satu sisi dirinya mendapatkan dukungan dari pengkhotbah muda itu dengan kalimat-kalimat bersahaja, serupa fatwa suci dari mulut para nabi penganjur kasih. Ia menjadi juru bicara agama rindu. 

Melihat upayanya mulai menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, lelaki terus mengucapkan mantra-mantra kudus, 'Kita harus menyambut cinta di mana pun kita menemukannya, meskipun itu berarti berjam-jam, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu kekecewaan dan kegetiran' (h. 93).

Maka untuk menjaga kewarasannya, Pilar kembali menyakinkan hatinya bahwa lelaki itu bukanlah lelaki yang ia kenal di masa silam. Sekarang, lelaki yang telah menjalani bertahun-tahun umurnya di seminari, menjelma menjadi pemanggul salib kebenaran dan penganjur serta pengajar kesucian Bunda Maria. 

Dia menekuk inginnya dan berusaha percaya bila lelaki itu -meski berada dekat di sisinya, dan bisa ia jangkau dengan jemarinya, telah berdiri di sisi dunia yang berbeda. Lelaki itu, hari ini, pengkhotbah yang diidolakan oleh penganut muda fanatik kebangkitan kembali ajaran-ajaran feminisme ilahiah.

Ketika Pilar kembali mendapatkan pijakan dan siap meninggalkan lelaki itu dan kembali ke Zaragoza, menjalani kehidupannya. Sisi lain dirinya kembali hadir, 'Namun cinta selalu baru. Tak peduli kita pernah jatuh cinta satu, dua, ataukah lusinan kali dalam kehidupan kita, kita selalu menghadapi situasi yang sama sekali baru' (h. 93). 

Maka perlahan, Pilar mulai berdamai dengan hatinya, dan mengakui bahwa dia tak pernah berhasil memerangkap lelaki itu hanya di masa lalu. Dia mulai menerima perasaan bahwa sepertinya lelaki itu memang berusaha menyampaikan inginnya dan memenangkan hari Pilar.

Ia membiarkan rembesan air di bendungan itu, menjebol pondasi pertahanan terakhirnya, seakan berkata, biarlah takdir yang menjadi jawaban atas semua misteri dan persoalan. Ia memposisikan diri menjadi pihak yang pasrah menjalani arus nasib dan suratan tangan.

Pilar hanyut dalam euforia kebahagiaan yang meletup-letup dalam momen-momen sederhana kebersamaan mereka: menerobos masuk ke gereja tua meski dilarang penjaga, duduk bersama di bibir sumur belakang penginapan sambil menikmati bir, atau sekadar berjalan bersisian di jalan desa di bawah salju yang gugur.

Kebersamaannya dengan lelaki itu, senyum tipisnya yang bening, pandangan matanya yang lirih, suaranya yang jernih, menjadi jaminan bagi pilar bahwa ia mungkin saja hanya tapi ia tak akan tenggelam, sebesar apapun jebolan pada bendungan itu, dan sederas apapun arus itu menyeretnya.

'Di saat kita mulai mencari cinta, cinta pun mulai mencari kita. Dan menyelamatkan kita' (h. 93). Pilar membulatkan tekadnya untuk mengikuti arah langkah pengkhotbah muda itu. Ia menyerahkan diri ibarat domba tersesat yang akhirnya menemukan gembalanya. Gembala yang menggiringnya ke bawah naungan cinta Bunda Maria yang Suci.

Namun, mengapa ada tangis di tepi sungai Piedra? Mungkin saja jawabannya akan kita temukan saat menyelesaikan pembacaan atas novel ini. Tentu saja, bila kita juga membuka diri, dan membiarkan diksi-diksi liat Paulo Coelho membuat kita terseret dan hanyut.

Meski pengembaraan jiwa itu belum akan berakhir di tepi sungai Piedra. Pergolakan-perbolakan batin serupa, dilanjutkan oleh Paulo dalam 'Veronika Memutuskan Mati' serta 'Iblis dan Miss Prym'. Siapkan sabuk pengaman bagi jiwamu, agar bila turbulensi tiba, engkau telah bersiap menghadapi guncangan.

Tapi sebelum memutuskan untuk membacanya, sebaiknya kita bersiap menerima sentakan-sentakan pada keyakinan yang selama ini kita pegang teguh. Novel ini ditulis oleh Paulo karena terinspirasi oleh ayat pertama dari Mazmur 137, 'Di tepi Sungai Babel, di sana kita duduk, kita menangis, saat kita mengingat Zion'.

Karena Paulo, melalui novel ini akan membawa kita merasai nuansa dan gejolak cinta, dengan berkaca pada derita orang-orang Yahudi yang terserak di sekitar sungai di Babel, setelah direbutnya Yerusalem tahun 586 SM oleh Kerajaan Babilonia Baru di bawah pimpinan Raja Nebukadnezar II.

Bila kaum Yahudi menggantung kecapinya di pohon willow, lalu duduk dan menangis di tepi sungai Babel, sambil mengenang kebesaran Yerusalem. Maka penulis yang bernama lengkap Paulo Coelho de Souza ini membawa Pilar dan lelaki pengkhotbah itu duduk di tepi sungai Piedra untuk menangisi hubungan mereka yang penuh pertanyaan pelik.

Tulisan ini merupakan resensi atas buku Judul: Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis | Penulis: Paulo Coelho | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Cetakan: Pertama, Agustus 2013 | Halaman: 200 | ISBN: 978-979-22-9262-6

Posting Komentar

0 Komentar