[15.08.2025] Seharusnya, dalam urusan ibadah, ikhlas menjadi hal yang harus terpenuhi agar ibadah itu bermakna. Tentu saja, termasuk dengan salat berjemaah di masjid. Bagi orang sepertiku yang memilih berjemaah di masjid karena alasan malas salat sendiri, membangun keikhlasan adalah hal yang lumayan berat.
Ada saja tingkah polah jemaah masjid yang memancing munculnya rasa dongkol, jengkel, dan kesal, yang ujung-ujungnya meremukkan keikhlasan yang memang sudah ibarat telur di ujung tanduk.
Mungkin perilaku jemaah itu hal-hal sepele, tapi kalau dipikir-pikir, itu berimplikasi sistemik bagi runtuhnya ketulusan. Berikut ini beberapa perilaku jemaah yang mendongkolkan itu.
Memenuhi saf bagian belakang saat menanti ikamah. Entah apa alasannya, baik secara tekstual maupun kultural, jemaah salat lebih menyukai memenuhi saf-saf bagian belakang untuk melaksanakan salat sunah pra salat wajib, atau sekadar berdiri menanti dikumandangkannya ikamah.
Hal ini membuat jemaah yang datang belakangan, kesulitan mengakses tempat untuk melaksanakan salat sunah.
Ketika kita berhasil menyusur di sela-sela jemaah yang berdiri bercerita dengan bisik-bisik sambil menunggu ikamah, kita akan terhambat oleh jemaah yang melaksanakan salat sunah tanpa meletakkan sutrah.
Kurang afdal rasanya, berjalan di depan mereka yang sedang menghadap Tuhannya. Bila melakukannya, kita akan mendapatkan tatapan tajam dari jemaah lain, orang Makassar menyebutnya, nijanjang kodi.
Menjawab telepon atau membalas pesan teks di pintu masjid. Saat salat telah usai, zikir telah pungkas, dan doa telah tuntas, saatnya pulang ke rumah. Tapi sayang, ada saja jemaah yang dengan asyik sendiri menjawab telepon atau membalas pesan teks di depan pintu keluar masjid.
Terkadang, jemaah telah mengantre di belakangnya, dan dia masih tak sadar atas efek dari tindakannya.
Begitu pentingnya kah panggilan telepon yang dijawab atau pesan teks yang dibalas, sehingga membuat banyak pihak terganggu.
Bila memang penting dan mendesak, mengapa tak mencari tempat yang lebih memadai? Kenapa harus di teras masjid, tepat di depan pintu keluar?
Berkerumun di saf belakang imam. Terkadang, hingga imam membaca surah pendek atau beberapa ayat dari surah panjang setelah membaca Al fatihah, saf terdepan belum penuh.
Jemaah lebih memilih membentuk saf baru di belakang imam, entah apa alasannya. Mungkin mereka tak memahami keutamaan saf terdepan.
Bahkan seringkali saf terdepan digenapi oleh jemaah yang masbuk, saking tak adanya yang mau melangkah jauh ke sudut terjauh masjid untuk menyempurnakan saf terdepan.
Ini bukan hanya dilakukan oleh jemaah anak-anak atau remaja, pun dilakukan oleh mereka yang rambutnya sudah memutih.
Membawa sajadah berukuran lebar. Banyak jemaah, terutama yang sudah berumur, datang untuk salat dengan membawa sajadah berukuran lebar, yang bisa ditempati berdiri satu setengah manusia.
Ketika imam meminta agar saf dilurukan dan dirapatkan, maka yang lurus dan rapat bukan jemaah, melainkan sajadahnya.
Perkara ini lumayan sensitif, sebab bila ada jemaah lain yang juga membawa sajadah, menghamparkan dan menimpa sebagian sajadah jemaah lain, bakal menimbulkan benih konflik.
Mereka tersinggung bila sajadahnya tertimpa, padahal niatnya agar saf yang lurus dan rapat bisa diwujudkan. Lagian mengapa pula harus membawa sajadah, padahal karpet masjid sudah tebal, lembut, dan harum.
Membuka ponsel begitu usai salam. Ketika kepala baru saja menoleh ke kiri menuntaskan salam kedua, tangannya sudah menggenggam ponsel, jemarinya menari-nari di atas kibor, bibir tersenyum, melupakan jemaah di kiri dan kanan yang baru saja menyampaikan doa keselamatan untuknya.
Tak sedikit jemaah dengan tipe ini, sungguh mengganggu.
Ada yang berdalih bahwa zikir dan doa berjemaah adalah perkara baru dalam agama dan tek pernah dicontohkan nabi. Padahal, mereka tak sadar entah pada siapa mereka mengikut, langsung meraih ponsel setelah mengucap salam.
Bila zikir dan doa berjemaah adalah bidah dhalalah, apakah langsung membuka ponsel adalah bidah hasanah?
Sandal berserakan di samping rak sandal. Mungkin dengan alasan praktis bisa langsung dipakai begitu keluar dari masjid, sandal-sepatu berserakan di depan pintu, padahal di samping pintu telah disediakan rak sandal-sepatu yang dibiarkan tetap melompong.
Padahal berapa indahnya bila di sana tertata rapi sendal-sepatu dari jemaah, dan ruang di depan pintu tak penuh alas kaki yang berserakan.
Selain itu, alas kaki yang sejatinya menjadi pelindung kaki dari kotoran, noda, dan bahkan najis, menjadi tak bermakna terinjak oleh alas kaki jemaah yang keluar lebih dahulu.
Kita tak pernah tahu, alas-alas kaki itu telah menginjak kotoran atau noda apa, bahkan mungkin berlepotan najis. Sungguh terlalu.
Ilustrasi dibuat oleh AI Microsoft-Copilot

0 Komentar