[06.09.2025] Usai salat isya, aku mundur dari saf dan memilih melanjutkan zikir di bagian belakang masjid, pas menghadap salah satu tiang. Tiba-tiba Aditya, anak keempatku yang berusia 10 tahun lebih, duduk di depanku, bersandar ke tiang masjid. Rupanya ia juga ikut salat berjemaah, tadi waktu aku beranjak ke masjid, ia masih di kamar mandi.
Saat aku mulai berzikir dengan menggunakan ruas jari sebagai alat bantu menghitung, Aditya melontar kalimat, "Abi, senyum itu kan sedekah," aku tahu ia akan melanjutkan dengan pertanyaan, seperti gayanya selama ini, jadi aku langsung menjawab, "Betul!" Kulihat dia tersenyum, mungkin dia pikir bahwa pertanyaannya akan tepat, sebab premis awalnya tepat.
Lanjutnya, "Apakah bila kita tersenyum ke orang lain, berarti kita bersedekah?" Aku rasa ini pertanyaan pancingan, maka kujawab singkat lagi, "Iya!" Dan benar, ia lalu kembali mengungkap tanya lanjutan, "Bagaimana kalau senyum pada hewan atau tumbuhan, apakah juga sedekah?" Nah ini pertanyaan yang kutunggu, khas Aditya.
Aku tersenyum, ia ikut tersenyum, merasa berhasil menggelitik pikiranku dengan soalannya. Dengan pelan, sambil kutepuk pahanya, kujawab tanyanya, "Tentu saja juga termasuk sedekah, sebab senyum adalah bentuk sikap yang baik, dan bersikap baik pada hewan maupun tumbuhan, adalah hal yang dianjurkan." Kulihat senyumnya melebar menjadi tawa.
Kugeser dudukku mendekat, lalu setengah berbisik, kusampaikan padanya, "Kita, manusia adalah khalifah Allah di bumi." Sebelum ia bertanya, segera kujelaskan, "Khalifah itu artinya wakil atau pengganti. Tuhan selalu berbuat baik pada semua, bukan cuma hewan dan tumbuhan, tapi juga pada tanah, batu, pasir dan sebagainya."
"Bagaimana cara kita berbuat baik pada tanah, abi?" Tanya Aditya dengan muka yang lebih serius. "Seperti kalau kita menyiram tanaman, memberi makan pada kucing, berbuat baik pada tanah salah satunya dengan tidak membuang sampah sembarangan." Terangku, kulihat Aditya manggut-manggut, senyum, lalu berkomentar pendek, "Oh, begitu."
Setelah jeda sejenak, dia meminta izin, "Abi, saya pulang duluan ya." Sambil berdiri dan bersiap salat sunah pasca salat isya, kujawab, "Oke." Dia lalu berdiri dengan muka semringah, melangkah riang menuju pintu masjid, dan pulang. Aku menyusul pulang setelah memungkasi salat dan beberapa penggal doa.
Tapi rupanya, rasa penasaran Aditya belum berakhir, saat aku beruluk salam, masuk lalu duduk di kursi di ruang tamu, ia yang sedang bermain dengan adiknya, Khadijah, anak kelimaku, lalu duduk di sampingku. Senyum Aditya mengembang hingga giginya kelihatan, dan melempar tanya, "Abi, tertawa kan termasuk senyum lebar, apakah kalau kita tertawa ke orang lain, termasuk sedekah?"
Selepas bertanya, Aditya lalu kembali bermain dengan adiknya yang telah memanggil-manggil. Aku terhenyak, darimana anak ini mendapatkan pikiran bahwa tertawa adalah sejenis senyum, senyum yang lebar? Bukankah sebaliknya, bahwa senyum adalah bagian dari tawa, tawa yang lebih ekspresif tetapi tanpa suara. Ah, makin kritis saja anak ini, batinku.
"Oke, kita sepakat ya, bahwa tawa adalah sejenis senyum lebar. Sepanjang kita tertawa untuk menunjukkan rasa senang, bahagia, serta rasa suka pada yang kita temani tertawa, maka itu sedekah." Jelasku panjang. Aditya hanya menjawab, "Ooo..." sambil terus bermain dengan Khadijah, kulihat meski sibuk bermain, ia tetap memperhatikan jawabaku.
Kemudian kutambahkan, "Tetapi, kalau kita tertawa karena menertawakan dengan maksud mengejek, itu bukan sedekah, itu malah perbuatan tidak baik." Matanya berbinar, senyum terukir di sudut bibirnya, dia tak lagi melanjutkan tanyanya, semua ia sudah puas dengan jawabanku. Tampaknya, aku harus banyak belajar lagi, Aditya makin kritis.

0 Komentar