Curahan Hati Fatiya


[ 04.10.2025 ] Alunan pelan suara Fathmah Muthi'ah melantunkan surah al Jumu'ah memenuhi ruangan. Qonitah dan Fatiya duduk berhadapan di meja pojok sambil menikmati minuman masing-masing, diam membekap keduanya. Qonitah menatap lembut ke arah Fatiya yang tertunduk di depannya, seakan enggan bersitatap.

Suasana kafe Suara Ukhti siang itu lumayan lengang. Waktu makan siang telah usai, tersisa tiga pengunjung yang menuntaskan pesanannya. Kafe ini terbilang unik, hanya menyasar pelanggan perempuan yang didominasi para jilbaber. Qonitah dan Fatiya termasuk di antaranya, mereka telah menjadi pelanggan kafe ini sejak kuliah hingga masing-masing telah berkeluarga.

Cukup lama, tak ada kata yang terucap dari mereka berdua, entah karena menikmati murattal alias murajaah tilawah, atau mencoba menata kalimat yang akan mereka lontarkan pada teman berbincangnya. Persamuhan itu terjadi atas inisiatif Fatiya, saban hari iya memang meminta waktu berjumpa dengan Qonitah, terutama bila ia memiliki masalah yang mengganjal di hati.

Sudah berlalu sekian menit sejak mereka duduk di sana, Qonitah dan Fatiya belum lagi memulai perbincangan, kecuali saling melontar salam, berjabat tangan, dan berpelukan saat mereka baru tiba, tadi. Mungkin masalahnya agak pelik, sebab biasanya, saat berjumpa berdua seperti saat ini, Fatiya akan langsung mengeluarkan unek-uneknya.

"Baiklah, sudah cukup diam-diamnya. Al Jumu’ah sudah tuntas sejak tadi, sekarang at Tahrim, dan sebentar lagi al Mulk. Anti yang langsung cerita, atau butuh ana tanya? Anti mengajakku berjumpa bukan sekadar untuk menikmati murattal, kan?" Qonitah membuka percakapan, matanya terlihat begitu teduh dari balik purdah. Fatiya, bukannya menjawab, malah kian tertunduk, bulir-bulir bening perlahan menggenang di pelupuk.

“Hai, ada apa denganmu kali ini? Biasanya anti setenang burung parkit, badai apa gerangan yang mengobrak-abrik hatimu yang setenang samudra?” Qonitah berusaha menelisik melalui tatapnya, Fatiya kian tertunduk, mencoba menata gemuruh di bilik dadanya. Di bawah tatap perempuan yang telah dia anggap saudara, bahkan serupa orang tuanya itu, Fatiya seperti kehilangan daya, bahkan sekadar mengungkap rusuh yang membelasah kalbunya.

“Kalau memang gelebah itu masih terlalu berat, tenang-tenangkanlah dulu, ana bersedia menanti pembuka kalammu.” Qonitah memilih bersabar, kali ini ia yang didera kelesah, pilihannya hanya berpasrah. Tapi sikap Qonitah itu, justru memantik keberanian Fatiya meraih tangan Qonitah untuk digenggamnya, dan akhirnya bercelatuk.

"Salahkah bila ana belum bisa mencintai Khalil?" Fatiya mengangkat mukanya yang pias, menatap Qonitah dengan mata memelas.

Kalimat itu membuat Qonitah tergugu-gugu, ada apa gerangan yang berlaku dalam biduk rumah tangga yang telah dikayuh mengarungi samudera hidup oleh perempuan di depannya.

"Tapi dia suamimu, ukhti." Hanya pertanyaan pintas ini yang akhirnya bisa dia lontarkan, menyamarkan keterkejutan yang mengoyak ketenangannya.

"Iya, ana sadari itu, bahkan ana sendiri yang memilih untuk menerimanya saat dia meng-khitbah-ku Ke orang tuaku. Tapi..." Fatiya melepas tangannya dari genggaman Qonitah, menjatuhkan kepalanya ke sandaran sofa, nafasnya terdengar berat dia hela. Dia telah pasrah. Apapun pandangan Qonitah atas sikapnya.

"Kok pakai tapi? Jangan-jangan masih ada secebis rasa yang membelenggu hatimu untuk sepenuhnya kau biarkan Khalil bermukim di sana, atau ada nama lain yang bergelayut di perdu hatimu?" Qonitah mencecar dengan tanya, Fatiya hanya tertunduk.

"Atau anti masih tak bisa melupakan Khalid?” Lanjut Qonitah.

"Ana..." Kalimat Fatiya kembali terjeda, selaksa kata seakan menggantung di kerongkongan dan enggan untuk dikeluarkan.

"Ukhti, sadarlah. Apakah masih ada sesal atas proses yang pernah kalian jalani? Bukankah semua berakhir dengan baik? Pertemuan yang terjadi, dan ketertarikan yang perlahan bersemi saat ta’aruf kalian, hanyalah kesempatan yang diberikan Tuhan pada kalian." Ulas Qonitah.

"Ana sadari itu, tapi berat nian melumat jejaring rasa ini. Ana harus bagaimana, ukhti?" Fatiya menutup mukanya dengan kedua tangan, terdengar isak tertahan. 

"Mengapa? Toh akhirnya kalian sendiri yang bersepakat mengakhiri ta'aruf dengan baik, kan?" Mata indah Qonitah mendelik, merasa tak lagi mengenal sosok perempuan di depannya.

"Mungkinkah ini yang dimaksud dengan cinta platonis?” Tak acuh, Fatiya mengaduk jus buah naga yang tinggal separuh.

Astagfirullah, ana makin tak mengenalmu ukhti.” Qonitah berusaha kuat menahan getun.

“Ataukah ini suratan takdir yang digariskan Tuhan untukku?” Fatiya melengos, menghindari tatapan Qonitah yang kian tajam.

Mata Qonitah membelalak, "Hush! Istighfar ukhti, istighfar! Jangan menggunakan takdir untuk membenarkan hasrat kita, itu nafsu ukhti, nafsu! Anti sendiri yang memilih untuk melalui jalur terjal itu." 

“Tapi... Aahggrrr...” menjambak rambutnya yang terbalut rapi jilbab biru tua.

Qonitah berdiri, beranjak dan merengkuh Fatiya ke dalam peluknya, tangis yang sedari tadi ditahannya, meledak. Qonitah ikut terisak.

Qonitah tetap mendekap Fatiya yang duduk terkulai dikursinya, usapan lembut Qonitah dipunggungnya perlahan meredakan renyut di dada. Selawat tahrim yang menggema dari masjid terdekat turut meredam pulsa di jantung. Nafas keduanya terdengar kian pelan dan teratur.

Anti sendirilah yang dengan sadar memilih menikah dengan Khalil, dan melepaskan Khalid untuk menikah dengan Karimah." Qonitah melepas rangkulannya dan memilih duduk di samping Fatiya sambil terus mengelus punggungnya.

"Kita memang bisa memilih hendak menikah dengan siapa, tapi kita tak bisa memilih cinta kepada siapa." Suara Fatiya menggantung di udara, serupa gumam yang hanya bisa dia dengar sendiri. Ada nada kelelahan di sana. Tangannya saling meremas, seakan melumat cemas yang masih tersisa.

"Itu keliru, ukhti.” Ujar Qonitah, serupa bisikan. “Kita tak bisa memisahkan cinta dan komitmen. Baik mencintai, maupun komitmen dan saling mengikat diri dalam pernikahan, adalah hal yang kita putuskan.” Lanjutnya.

Diam lalu menjadi penengah yang tak pernah letih, suara murattal Fathmah Muthi’ah sedari tadi terjeda. Cukup lama tak ada takap yang tercipta, hingga tarhim berganti azan. Waktu asar tiba.

“Ayo salat dulu, siapa tahu dengan ruku kita bisa menundukkan ego dan hasrat duniawi. Mungkin pula dalam sujud, terurai kepelikan yang menjerat hati dan pikiran kita." Qonitah menuntun Fatiya melangkah ke musala kafe di lantai atas.

# # #

Seusai salat dan zikir, dengan masih berbalut mukena, Fatiya beringsut ke hadapan Qonitah, ditatapnya wajah yang melepas purdah saat hendak salat tadi.

“Bagaimana kalau ana bercerai saja dengan Khalil?”

“Belum hadirnya cinta bukan alasan yang kuat untuk memutuskan mitsaqan ghalizhan, perjanjian pernikahan itu terlalu kuat. Sebab bukan hanya antara anti dengan Khalil, tetapi juga keluarga dan bahkan Tuhan.” Qonitah meraih tangan Fatiya dan digenggamnya.

Ana malu ukhti, ana seperti mengkhianati Khalil bila rasa ini belum bisa kuhalau.” Mata Fatiya kembali berembun.

“Apa ukhti sudah memikirkan seabrek dampak ikutan bila kalian memilih untuk saling melepaskan?” Qonitah mempererat genggamannya.

“Insyaallah, ana akan berusaha memampukan diri dan berikhtiar mandiri.” Tanggap Fatiya, seperti kian yakin untuk berpisah.

“Kalau untuk urusan materi, ana yakin itu, anti perempuan yang tangguh. Tapi bukankah komitmen untuk saling berbagi dalam suka dan duka bukan menjadi satu-satunya alasan untuk menikah?” Qonitah mencoba menahan sikap Fatiya.

“Di sana ada jaminan separuh agama, ada keberkahan kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sudah siapkah anti mempertaruhkan itu semua, ukhti?” Lanjut Qonitah.

Ana mengerti, tapi...” Fatiya mencoba mencari dalih.

“Tapi sudahkah ukhti mempertimbangkan bagaimana pahala-pahala dari ibadah yang anti tunaikan tak lagi dilipatgandakan? Tak ada lagi yang akan memperhatikan dan menikmati tilawah-mu. Relakah dirimu kehilangan itu, ukhti?” Qonitah lagi-lagi menyela. Fatiya seperti kehilangan kata untuk menyanggah Qonitah.

“Belum lagi saf depan saat anti menegakkan salat di sepertiga malam akan kopong, tanpa imam yang memandu dan memimpin. Bersediakah ukhti menerima itu?” Cecar Qonitah berlanjut.

“Lalu apa yang harus ana lakukan?” Fatiya memelas, seakan minta dimaklumi.

“Bertahan dengan Khalil, dan bicarakan masalah ini dengannya.” Saran Qonitah membuat Fatiya kaget. Apa mungkin? Pikirnya.

“Jangan meragukan ketulusan suamimu, ukhti. Yakinlah, saat seorang pria berani menemui orang tuamu dan meminta dirimu untuk menjadi tanggungannya, itu berarti ia siap menerimamu apa adanya.” Qonitah menepuk pundak Fatiya untuk meyakinkan.

Ana takut, ukhti. Jangan sampai ia membenciku karena ini.”

Ana yakin, Khalil bukan pria yang seperti itu.” Qonitah menatap lekat mata Fatiya.

“Temui ia, bicara padanya, sampaikan masalahmu, dan minta ia membantumu ukhti. Insyaallah bila kalian bekerjasama, masalah ini akan bisa kalian lewati.” Qonitah tak henti meneguhkan.

“Apakah itu cukup?” Fatiya masih bimbang. Qonitah tersenyum dengan mata berbinar, lalu berucap lirih, “Usaha manusia tentu tak akan pernah cukup, sekeras apapun itu. Tapi ikhtiar itu menjadi wasilah bagi turunnya berkah Allah, maka perlahan cinta itu akan tumbuh, menggantikan kenanganmu tentang Khalid.”

Perlahan, Qonitah meraih Fatiya ke dalam peluknya, ia berbisik lirih, “Mungkin banyak pria yang akan memuji-mujimu, bukan hanya Khalid. Tapi bagi seorang istri, pujian yang paling syahdu dan yang paling dirindunya adalah pujian dari suaminya. Bahkan sekadar suaranya yang mengucapkan terima kasih akan begitu merdu, bila ia menyadarinya.” 

Setelah cukup lama saling dekap tanpa kata, Qonitah melepas peluknya dan berujar, “Pulanglah, dan jangan pernah membiarkan sedetikpun waktumu bersama Khalil berlalu begitu saja. Arahkan hatimu menikmati hal-hal kecil kebersamaan itu. Ucapannya yang lembut, pandangan kagumnya padamu, bayangkan Khalil berbisik mesra di keheningan malam saat kalian menuntaskan salat lail, Salihahku, temaniku hingga ke surga.”

Posting Komentar

0 Komentar