Perpustakaan Masjid Tanpa Spirit Iqra


[ 23.04.2025 ] Sejak bergulirnya wacana literasi yang merambah berbagai sektor kehidupan, hampir semua pihak menjadi latah dengan literasi. Hal itu ditandai dengan berbagai upaya menempekan kata literasi pada beraneka aktivitas. 

Lembaga pendidikan, lembaga keagamaaan, tokoh masyarakat, politisi, juga birokrasi, seakan tak mau kalah memoles diri menjadi pegiat literasi. Bahkan gerakan–gerakan dengan embel–embel literasi, bak cendawan di musim hujan.

Salah satu gerakan yang lagi naik daun akhir–akhir ini adalah Gerakan Literasi Masjid yang ditandai dengan berlomba–lombanya masjid menyediakan ruang khusus untuk perpustakaan. 

Hal ini malah mendorong lahirnya gerakan baru yang lebih spesifik, gerakan perpustakaan masjid. Sungguh sebuah euforia untuk tak menyeburnya sebagai sebuah kemabukan literasi.

Tapi apakah ini menjadi indikator bahwa kesadaran literatif masyarakat –terkhusus umat Islam, atau lebih spesifik lagi mereka yang rajin ke masjid, meningkat? Tentu ini kesimpulan yang terburu–buru dan serampangan. 

Meski simpulan demikian tetap saja kadang dimanfaatkan oleh mereka yang menjadikan gerakan literasi sebagai obyekan bagi para aktivis literasi abal-abal maupun birokrasi yang mengedepankan output daripada outcome. 

Angka–angka tentang jumlah masjid yang berhasil membuat perpustakaan masjid menjadi jualan bahwa gerakan literasi masjid berhasil, sehingga gerakan ini layak disponsori dan diberi kucuran dana. 

Padahal, faktanya tak selalu indah seperti dalam angka-angka statistik yang disajikan. Banyaknya perpustakaan masjid tidak berkorelasi positif dengan meningkatnya indeks literasi umat.

Memang belum ada penelitian serius mengenai kecurigaan ini, tetapi secara kasat mata bisa disaksikan betapa geliat membangun perpustakaan masjid tak lebih dari sekadar memenuhi standar formal bahwa masjid tersebut telah masuk dalam pusaran gerakan literasi masjid. 

Maka lahirlah perpustakaan–perpustakaan masjid yang minim pustaka. Bilapun kaya pustaka, maka hampir fakir pembaca.

Pada tulisan ini, saya hanya akan menyajikan pengalaman saya (mencoba) mengakses tiga perpustakaan masjid di tiga kabupaten berbeda di Sulawesi Selatan. 

Ketiga masjid ini juga berbeda cakupan jamaahnya, sehingga setidaknya, ketiga perpustakaannya bisa memberi gambaran samar soal kondisi perpustakaan masjid di tempat lain di Sulawesi Selatan. Untuk menjaga muruah sesama, aku tidak akan menyebutkan nama masjidnya.

*

Masjid pertama adalah sebuah masjid besar dan bahkan menjadi salah satu ikon Kabupaten Bulukumba. Aku mampir di masjid yang terletak di pusat kota Bulukumba pada suatu magrib untuk salat bersama keluarga, kami dalam perjalanan dari Bone menuju Takalar di awal tahun ini. 

Jelang magrib, aku melangkah ke lantai dua masjid, tempat di mana salat berjamaah akan ditegakkan. 

Ruang pertama yang kutemui adalah ruang sederhana di sudut kiri belakang masjid, di sana terdapat beberapa rak besi yang berisi buku–buku. dalam hati, kuniatkan dengan kuat, pasca salat magrib, saya harus mampir di situ. 

Tapi apa mau dikata, saat aku mendekat, ruang itu dalam suasana remang–remang dan tak ada sesiapa di sana. Hanya buku–buku yang mengendap dalam kelam, tak ada tangan yang menjamah, tiada mata yang menatap, dan tak ada mulut yang mengeja aksara.

Di mana petugas perpustakaan? Tak ada. Aku coba mencari-cari pengumuman soal bagaimana cara mengakses perpustakaan itu, serta berbagai petunjuk membaca dan meminjam buku, pun tak ada. 

Maka dengan masygul aku meninggalkan ruang itu menuju tangga dengan pandangan sayu, bisa kurasakan kesepian yang melanda buku–buku yang teronggok di sana. Buku–buku yang rindu bercerita, dan mengabarkan berbagai kisah.

Namun yang memiriskan hati karena masjid ini terletak di pusat kota, menjadi ikon peradaban Islam di Bulukumba yang terkenal sebagai Kabupaten Islami. 

Mengapa seakan tak ada bara literasi yang memercikkan api cinta pada aktivitas baca tulis di sana? Apa karena sebagian besar yang salat di sana adalah para pelancong yang tak punya waktu untuk melirik buku dan perpustakaan? Entahlah. 

*

Masjid kedua berada pada sebuah kecamatan di Kabupaten Wajo, jaraknya sekira sejam dari Kota Sengkang. Aku mengunjunginya di suatu jumat siang. Masjid itu terletak di sisi utara jalan, tempat wudunya berada di sisi utara masjid, berarti berlawanan dengan jalan. 

Jelang salat jumat, saya bergegas menuju tandas dan tempat wudu, tak sengaja mata aku melihat dua rak berwarna putih di teras kanan masjid, ditutup plastik spanduk bekas.

Usai berwudu, sesaat sebelum salat menghormati masjid, aku mengalihkan pandang ke sebelah kanan, kaca yang mendominasi dinding masjid memperlihatkan sisi dalam rak yang tertutup plastik spanduk bekas. 

Kulihat isinya ternyata buku, setelah kutilik lebih teliti, rupanya itu perpustakaan masjid, ada tulisan imut mengenai itu, di sana. Karena penasaran, aku berjalan mendekat dinding kaca, buku-buku itu berdebu, seakan tak pernah di jamah.

Hati ini serasa dibelasah ekor pari, perih. Mengapa jendela dunia itu, mengapa gudang ilmu, mengapa mata air pengetahuan dan kearifan, mengapa guru nan diam itu, dibiarkan begitu saja? 

Lalu apa gunanya ia dipajang di sana, terpanggang mentari setiap hari, terpercik air di kala hujan, dan seperti tak ada yang peduli. Inikah gerakan perpustakaan masjid itu? Sekadar menyiapkan rak buku dan buku–bukunya?

Sekilas, aku teringat dengan Arung Matoa Wajo, La Taddampareq yang populer dengan nama Puang Ri Maggalatung. Tokoh yang memupuk tradisi literer warganya dan meletakkan pondasi pemerintahan yang demikian visioner bagi warga melek politik yang mumpuni. 

Aku mengetahui betapa kencangnya geliat gerakan literasi di Wajo, semoga suatu saat percikannya bisa membasuh perpustakaan masjid ini.

*

Masjid ketiga terletak di jantung kota Soppeng, tak jauh dari pusat kekuasaan di daerah yang bergelar Kota Kalong ini. Secara fisik, masjidnya indah, dan jamaahnya lumayan banyak, terutama pada siang hari. 

Aku berkali-kali salat di masjid yang terletak pas di samping sebuah lembaga pendidikan negeri, yang siswa dan gurunya menjadi jamaah masjid, terutama di salat duhur. Kebetulan aku menginap di dekat masjid tersebut.

Pertama aku melihatnya saat waktu subuh. Perpustakaan masjid terletak di badan masjid, pintunya pas di depan jamaah sebelah kanan, di pojok gedung. 

Di sana tertulis PERPUSTAKAAN dengan anak kalimat DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK BERKEPENTINGAN pada pintu kaca yang sebagian besarnya tidak tembus pandang. Saya juga tak sempat mengintip.

Keesokan harinya, aku kembali memperhatikan pintu itu kala menjelang duhur. Saat itu, jamaah membludak, limpahan dari sekolah, mereka guru dan murid. 

Sengaja aku berdiri dekat pintu bertulis PERPUSTAKAAN agar setelah salat aku bisa menelisik isi ruangan itu. Rak dan judu-judul buku yang kubayangan ada di dalam sana, membuat penasaran.

Tapi kembali aku harus mengurut dada, saat aku mencoba mengintip ke dalam, tak ada tanda-tanda bahwa itu perpustakaan, yang kulihat adalah kaki tangga besi, mungkin ke arah atap masjid, di sampingnya teronggok kardus berisi baju kaus yang dipakai sebagai lap, serta sapu lidi dan alat pel. 

Sambil tersenyum masygul, aku menyenangkan hati, mungkin itu alat praktik literasi kebersihan. Kutinggalkan masjid dengan hati rawan, betapa tragedi literatur ini terjadi di tempat di artefak peradaban yang mengakar pada spirit iqra.

*

Sepertinya memang, kita ini masyarakat yang latah. Terlalu gandrung mengikuti tren dan kebiasaan yang dikampanyekan secara massif, meski kehilangan substansi dan hakikat. Termasuk gerakan perpustakaan masjid ini.

Kita hanya memaknai gerakan perpustakaan masjid dengan seremoni yang dihadiri oleh bunda baca, duta baca, penggerak literasi, yang hanya muncul dan tampil berfoto saat menyerahkan rak buku serta berkardus-kardus buku yang mereka sendiri belum tentu membacanya.

Setelah itu, rak beserta buku-bukunya ditinggalkan untuk diurus oleh pengurus masjid yang juga hampa spirit ber-iqra. Mereka hanya berpikir untuk menyiapkan ruang, memasang plang, setelah itu mengunci ruangan. Maka teronggoklah buku itu dalam kesepian panjang.

Untuk apa bahan pustaka itu ditumpuk dan dipajang, bila tak tak ada ajakan agar mereka dibaca, dan kita berefleksi atasnya? Bukankah itulah hakikat dari ber-iqra, yang menjadi perintah pertama dan utama yang diterima rasul Muhammad Saw. dari Allah Swt?

Kita sudah sering mendengar bahkan membaca sendiri Surah Al Alaq (96), "Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan’ (QS. 96:1)". Di sini, tegas Allah Swt. menginstruksikan kita untuk senantiasa membaca, membaca dengan menyebut namaNya.

Tetapi, perintah ber-iqra tak berhenti di situ, ada sebuah aktivitas lain yang disebutkan dan bahkan dicontohkan langsung oleh Allah Swt., yang sayangnya sering kita lalaikan. Dalam ayat selanjutnya, "Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (QS. 96:3-4)". 

Lihatlah, Allah Swt. mengatakan bahwa Dia mengajar manusia melalui perantaraan kalam, melalui pena, melalui alat tulis. Itu berarti bahwa menulis merupakan aktivitas yang tak bisa dipisahkan dengan ber-iqra. Tak ada yang membaca, tanpa ada yang enulis.

Buat apa Allah menggunakan kalam, buat apa Alah menulis? Al Quran lalu tujuannya, "Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. 96:5)". Bahwa menulis adalah aktivitas pencerahan, mengantarkan manusia dari posisi tidak tahu menjadi mengetahui.

Dalam konteks hadirnya perpustakaan di masjid, selayaknya diikuti dengan kader-kader penggerak yang tak letih mengajak jemaah untuk menjadi pembaca aktif. Harapannya, dengan membaca, jemaah akan tercerahkan.

Berikutnya, bila jemaah telah menjadi pembaca aktif, saatnya mengajak mereka untuk menjadi pembaca kritis, dengan saling berbagai hasil bacaan melalui diskusi dan kajian. Ini akan memperkaya wawasan jemaah, dan meningkatkan indeks toleransi umat.

Terakhir, jemaah diajak untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan baru, dan lalu menuliskannya, atau mengimplementasikannya dalam kehidupan keseharian di lingkungan sekitar, terutama di masjid. Bukankan dengan begini, kehadiran rak beserta buku-bukunya menjadi lebih bermakna?

Selamat Hari Buku dan Hak Cipta Sedunia

Ilustrasi dari radiomenara3.com/Jakarta Book Review

Posting Komentar

0 Komentar