[ 23.05.2025 ]"Lihat, betapa berlagaknya ia. Sok megah dengan selubung keemasannya yang hanya dia pakai sesaat. Apa maksudnya ia memamerkan itu ke seantero jagad? Ia cuma pemberi harapan semu, serlip sejenak, lalu temaram nan kelam." Gerutu perempuan berpenutup kepala marun itu. Suaranya tersapu angin sore yang lembab dari pantai nan jauh.
Kepalanya lalu ia tekuk, tangannya sibuk mengaduk-ngaduk teh di cangkir yang sisa setengah. Ia telah lama menjauhi kopi, sejak asam lambungnya suka melonjak. Lanjutnya, "Perlahan ia akan berlalu menyeret bias binarnya masuk ke peraduan nun jauh di ufuk. Inilah entah, tak ada ijab bila ia akan kembali menyinari di esok hari. Aku benci ketakpastian!"
Ia duduk di ujung kanan bangku kayu yang terpacak kukuh ke lantai. Di hadapannya, meja papan yang mulai lepuk, cawis sepiring ubi goreng yang tak lagi hangat. Mereka bertiga, datang bersama, duduk di bangku yang sama, menghadapi meja yang sama, menatap matahari yang sama, tapi mungkin, dengan pandangan berbeda tentang senja.
"Mengapa ia begitu dikagumi orang-orang? Apakah semua kita telah terbiasa dengan kepura-puraan? Mengapa kita tak belajar menerima kenyataan, seperih apapun luka itu, dan sengilu bagaimanapun duka itu." Lagi-lagi, racaunya meletup-letup. "Apa betul, ia begitu indah dan pantas dielukan sedemikian?"
Perempuan Kedua yang duduk di ujung kiri, mencoba menjangkau bahu rekannya, lalu ditepuknya pelan pundak ringkih itu. "Hai, mengapa tak bisa kau lihat pesona itu? Bias sinar berwarna jingga, pencar cahaya di lekuk mega, tempias kirana di larik gelombang. Bukankah itu sebentuk kemewahan?"
"Ayolah, jangan memandang semua ini dengan keguraman hatimu. Tilik ia dari kebeningan kalbumu, cobalah. Jangan menunda, jangan biarkan kepingan indraloka ini berlalu, minimal ia menjadi penawar bagi gelita yang sebentar lagi bertandang." Ucapnya sambil merapikan ujung jilbab bernada merah jambu di kepalanya.
Perempuan Pertama yang berkudung sirah, mengangkat kepala, raut muka kuyu, sorot mata sayu. Bibirnya bergetar, menanti saat untuk menerjemahkan suara yang masih tercekat di kerongkongan, menjadi kata. Ia menoleh pelan pada ia yang di ujung kiri. "Apakah kita masih menatap matahari yang sama? Aku ragu. Kau tak bisa melihat apa yang kuagah."
Kepalanya tengadah, cahaya temaram membias di garis-garis wajahnya. Hidung, sepasang bibir yang terkatup, mata yang menutup, alis yang redup, dan dahi yang bernaung di bawah jungkup jilbab, seperti diarsir warna coklat keemasan. Sepasang tangannya saling menggenggam, membiarkan angin petang mempermainkan ujung tengkuluknya.
Perempuan Kedua memalingkan wajahnya sejenak menatap lekat roman kawannya. Setelahnya, kembali ia menatap lekat ke kaki cakrawala. "Inilah batasnya, memang demikianlah kodrat keindahan. Ia tak boleh hadir terlalu lama, agar kadarnya tak luntur dan berkurang. Berapa membosankannya bila sepanjang masa hanyalah senja."
"Pendar kegemilangan akan bermakna bila ia senantiasa berpagut dengan kelam temaram. Ia memberi harapan, bahwa di balik kelamnya malam, menyembul asa akan senja yang bergairah. Bukankah semua akan indah pada waktunya?" Lanjutnya dengan mata terkatup, dibiarkannya cahaya senja menelusuri setiap pori wajahnya.
Senja kian redup, umpama kandil yang kehabisan damar. Kedua perempuan itu tetap kekeh pada pandangannya masing-masing tentang senja. Teh dan kopi di cangkir telah tandas, malam pula mulai membalut buana dengan gelap yang sebenar-benarnya gelap. Tiada kerlip gemintang ataupun seri rembulan, ini awal malam di bulan tua.
"Ayo, kita harus beranjak, magrib telah masuk, kita salat di surau di bawah sana." Suara lirih memecah keheningan, udara yang seakan membeku, kembali mengalir, menyadarkan perempuan pertama dan kedua. Perempuan Ketiga yang duduk di tengah, menggoyang-goyangkan bahu mereka yang di sisi kiri dan kanannya.
Perempuan Pertama dan Kedua berdiri bersamaan, serempak berpaling melihat perempuan ketiga yang duduk di tengah, lalu melempar tanya, berbarengan. "Menurutmu, seperti apa senja itu? Apa yang kau lihat di sana, tadi?" Berondongan soalan itu hanya dijawabnya dengan senyum. Iya menggenggam tangan kedua kawannya lalu berjalan bersama menuruni setapak menuju surau.
"Mengapa engkau hanya tersenyum? Barusan kita dirajam kemuraman dengan berlalunya senja? Masih bisakah kau mengukir lengkung di bibir?" Perempuan Pertama kembali melontar tanya. "Tentulah tersenyum, bukankah senyum adalah eskpresi kepuasan setelah menikmati keindahan? Bukan begitu?" Perempuan Kedua menaik-turunkan alisnya ke arah Perempuan ketiga.
"Penting begitukah, pendapatku?" Ujar Perempuan Ketiga, tangannya sibuk membetulkan jilbab berwarna payung yang dikenakannya petang itu. Mereka terus melangkah di setapak berbatu, gelas-gelas kosong dan piring yang isinya telah tandas diam teronggok di atas meja kayu. "Tentu saja penting." Seru Perempuan Pertama. "Pendapatmu bisa mempengaruhi perbedaan pendapat kami berdua." Sambung Perempuan Kedua.
"Bagiku, senja itu bias cahaya yang membuncah di horison saat mentari perlahan menghilang di batas cakrawala. Dia bisa temaram bila langit lagi mendung dan tertutup awan, bisa juga dia benderang bila langit begitu cerah tanpa mega." Jawab Perempuan Ketiga. "Bukan itu maksud kami, iya kan?" Perempuan Pertama melirik Perempuan Kedua yang langsung setuju. "Apa kesanmu tentang senja sore ini?" Lanjut Perempuan Pertama.
Perempuan Ketiga kembali tersenyum, samar, sembunyi di balik temaram kaki malam. "Yang menentukan kualitas senja, bukanlah dari sudut mana kita memandangnya," ia jeda sejenak, lalu melanjutkan, "Keindahannya ditentukan oleh kelapangan hati yang meniliknya. Bila hati kita bening dan tenang, pandangan kita tak akan terpengaruh oleh yang dipandang. Senja atau apapun yang terjadi di sekitar kita, tak kuasa membuat kita tenang atau dibekap cemas."
"Ah, tak bisa begitu! Jelas, senja selalu meninggalkan jejak nyanyang." Perempuan Kedua mengajukan protes. Perempuan Pertama juga akan angkat bicara, tapi dipotong oleh Perempuan Ketiga, "Sejak kapan kita berhak menjadi hakim? Kita ini ditakdirkan menjadi saksi." Perempuan Kedua cemberut, "Apa maksudnya itu?". Perempuan Ketiga menggamit keduanya, "Sudah, ayo segera wudu dan ikut jamaah. Tepat saat bersimpuh melantunkan tahiyat, renungkan baik-baik saat membaca syahadat, jawabannya ada di situ."
Salat magrib mereka tunaikan bersama jemaat yang tak seberapa, suhu pegunungan menggigilkan sendi, suara serangga malam meningkahi suara takbir imam tua yang gemetar, kesiur angin menampar-nampar daun jendela kayu yang mulai melapuk dimakan usia. Ketiga perempuan itu hanyut dalam kesunyian, menikmati desah nafas masing-masing yang tertatih melafazkan syahadat.

0 Komentar