[ 29.05.2025 ] Aku babarkan di hadapanmu, sebuah cerita yang terjadi di penggalan sejarah Tana Boné, saat negeri ini belum dilanda sianré balé. Kisah ini berderak ketika La Tiuleng -raja yang kelak memerintah Tana Luwu dengan gelar Batara Lattuq- bahkan belum lagi mempersunting puteri cantik dari Kerajaan Tompoq Tikka, Wé Datu Sengngeng.
Bukan karena tak takut kena tulah sehingga nama besar para tokoh disebut-sebut, ini semua sebagai bentuk penghormatan dan ungkapan kebanggaan atas kejayaan yang telah mereka torehkan. Merekalah yang menyulut harapan dan menegaskan hasrat bahwa ketika Tana Luwu bersinar di Utara danau Tempe dan sungai Walanaé, ini bukanlah cahaya tunggal.
Jauh di selatan sungai Walanaé, secercah cahaya berpendar indah ibarat kunang-kunang di malam musim panen, cahaya itu perlahan menerangi hamparan tanah datar seluas mata memandang, dikelilingi bukit-bukit hijau nan rimbun, sebuah daerah yang kemudian dicatat sebagai Tana Boné.
Tersebutlah empat orang pemuda dari Wanua Pattiro, dimana Puang Matoa, La Pasimpuri bertahta di sebuah Sao Lampé, menjalankan kekuasaan yang dipandu dengan kearifan leluhur demi kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Pemuda-pemuda inilah yang kemudian menjadi tiang utama kejayaan Pattiro.
Pemuda pertama dikenal sebagai La Lampé Tappi Bangkung, entah ini gelar atau nama sebenarnya, tak ada yang tahu. Ia berperawakan kurus dengan badan jangkung hampir dua meter. La Lampé Tappi Bangkung lahir dan besar di Anang Kaju dan suka berkelana, hingga hampir semua wilayah anang di Wanua Pattiro pernah ia sambangi.
Sebagai pemuda yang begitu mencintai parang, pinggangnya tak pernah sepi dari sebilah parang dalam warangka. Panjang parangnya tak tanggung-tanggung, bahkan setelah tujuh purnama ia meninggalkan rumah untuk berkelana, ujung warangka parangnya masih ada di kaki tangga rumahnya.
La Lampé Tappi Bangkung begitu menguasai gaya bertarung dengan parang. Kemampuan tersebut dia warisi dari sang guru yang telah merawatnya sejak kecil, Ulu Anang Kaju yang bernama La Pacalla. Ulu Anang Kaju juga bergelar Petta Ponggawaé karena menjabat sebagai panglima perang Wanua Pattiro.
Pemuda kedua bernama La Umpeq Rai, pemuda tambun dari Anang Pajjia. Terkenal karena ketebalan dakinya yang bertumpuk sejak bayi. Tak pernah sekalipun ia mandi, air telah menjadi musuh alaminya sejak lahir. Ia menjadi murid kepercayaan La Pattola yang menjabat Ulu Anang Pajjia.
Mungkin kalian akan bertanya berapa tebal dakinya? Apabila La Umpeq Rai dirajam dengan parang La Lampe Tappi Bangkung hingga gagangnya hampir tenggelam di dakinya, ujung parang belum juga menyentuh kulitnya. Bisa kalian bayangkan betapa tebalnya.
Meski bertubuh cebol, pendek dan bulat, tetapi La Umpeq Rai adalah petarung tangan kosong yang handal. Dia juga kebal dengan senjata tajam, bukan hanya karena tebalnya daki mampu menghalangi senjata untuk menyentuh dan lalu menggores kulitnya, tetapi karena dakinya bisa berfungsi sebagai zirah.
Lalu ada La Lebbaq Paleq, pemuda berperawakan sedang dengan muka kekanak-kanakan. Ia berasal dari Anang Maccopeq, sebuah kawasan di timur Pajjia. Untuk ke sana, seseorang harus menumpang perahu melintas sungai, atau menggunakan ajian berjalan di atas permukaan air, seperti yang diajarkan gurunya yang menjabat Ulu Anang Maccopeq, La Panyompa.
Meski demikian, La Lebbaq Paleq tak sekalipun menggunakan perahu untuk menyeberang. Bukan karena menguasai ajian berjalan dia atas permukaan air, melainkan mengandalkan lebar kedua telapak tangannya. Tak tanggung-ganggung, sekali ia menciduk air, sungai mengering dan memungkinkan ia berjalan ke seberang, sebelum air sungai terisi lagi dari hulu.
Pernah suatu kali ia iseng menciduk air di sebuah danau, air danau langsung tandas dan danaunya mengering. Bayangkanlah, seluruh ikan yang dikumpulkan dari danau yang mengering itu, bisa memenuhi kebutuhan ikan di Maccopeq selama sebulan penuh. Itulah mengapa, La Lebbaq Paleq sangat berhati-hati menggunakan telapak tangannya.
Yang terakhir, seorang pemuda bertubuh atletis dari Anang Parippung, La Paddaga-Daga Bulu namanya. Menariknya, murid dari Ulu Anang Parippung, La Pariwusi ini memiliki telapak kaki yang lebar dan kukuh. Kesukaannya adal0ah bermain olahraga sepak raga. Bahkan dia adalah pemain sepak raga paling top di Wanua Pattiro.
Bila tak ada yang menantangnya bermain sepak raga, La Paddaga-Daga Bulu akan bermain sendiri, tapi tidak menggunakan bola dari rotan, melainkan bukit kecil sebagai pengganti bola. Sekali ia menendang bukit yang dijadikannya bola, ikan hasil tangkapan La Lebbaq Paleq yang mengeringkan danau telah habis, dan bukit itu masih melayang di sela awan gemawan.
Oh ya, Sebetulnya Anang Parippung tidak masuk dalam wilayah Wanua Pattiro, tetapi La Paddaga-Daga Bulu lebih memilih bermain dengan pemuda dari Wanua Pattiro, terutama La Lampé Tappi Bangkung, La Umpeq Rai, dan La Lebbaq Paléq. Itulah sebabnya, iya begitu disukai oleh Puang Matowa Sao Lampé.
Dari pertautan takdir dan kelindan garis hidup keempat pemuda inilah, masa depan Wanua Pattiro dirajut dalam jejaring kisah penuh intrik. Warita penuh tipu daya demi memuaskan hasrat kuasa, hari-hari bergelimang harta, dan ruang temaram yang tak pernah kosong dari kehadiran wanita-wanita bermata jeli.
Oh ya, sekali lagi kutekankan, bukan karena tak takut kena tulah sehingga nama besar para tokoh disebut-sebut, ini agar kita semua sadar pernah memiliki nenek moyang pemberani, yang berani menantang bahaya untuk hidup yang lebih baik, meski juga terkadang bertingkah konyol.
Bersambung.

0 Komentar