Kedahuluan Laba-Laba Menjamah Buku-Buku


[ 30.05.2025 ] Suara air hujan berjatuhan di atap, gemuruhnya masih santer terdengar. Gemuruhnya membuat jemaah enggan beranjak dari duduknya. Salat Jumat telah usai setengah jam yang lalu, tapi hujan berhasil menahan jemaah untuk berlama-lama di masjid. Mereka berkerumun di pintu dan selasar, menunggu kesempatan.

Aku memilih tetap bersimpuh di atas karpet, belum bergerak dari dudukku sejak tahiyat akhir tadi. Aditya yang ikut bersamaku mulai gelisah untuk beranjak. Beruntung, dia melihat keberadaan sepupunya pada saf yang berbeda, ia meninggalkanku dan memilih bergabung dengan sepupunya.

Kupalingkan muka ke sebelah kiri, ke arah sebuah rak kaca dua tingkat yang berisi buku-buku. Letaknya pas di samping pintu masuk Pos Kesehatan Masjid (Poskesmas). Telah lama Masjid Agung Takalar mempunyai Poskesmas, tapi soal keaktifan, aku tak tahu pasti.

Kembali kulirik rak dan buku-buku itu. Wah lumayan sambil menunggu hujan reda, batinku. Aku berdiri dan melangkah menuju rak, di bawah tatapan jemaah lain yang seperti keheranan. Begitu tiba, aku bersimpuh di depan rak, dan mencoba mengintip ke dalam. Tema buku-bukunya lumayan beragam.

Sekira 200an buah buku yang terpajang di sana, kelihatannya masih jarang dijamah, kurang lecek, meski semua telah dipasangi label sebagai penanda bahwa itu buku koleksi Perpustakaan Masjid Agung Takalar. Kulihat ada beberapa judul buku yang tersedia lebih dari satu buah. 

Kuamati satu-persatu, ada beberapa buku yang mengulas tentang ibadah, ada buku-buku perihal ekonomi Islam yang membahas soal perbankan syariah dan pengelolaan zakat. Juga tersedia bahan pustaka yang mengulas kehidupan para sahabat nabi, serta pembahasan tentang roh dan kematian.

Sayang, tak ada satupun buku yang tersaji masuk kategori buku fiksi seperti cerpen, novel, atau puisi. Padahal buku dengan genre fiksi, tak sedikit yang menggunakan pendekatan syariah dan melahirkan cerita-cerita islami serta puisi-puisi religius. Bukankah pembaca biasanya juga mencari bacaan fiksi?

Oke, karena membutuhkan kawan mengisi waktu luang menanti hujan reda, aku akan membaca. Tapi saat pintu rak buku akan kugeser, aku terperangah. Aku teringat kisah nabi Muhammad Saw., yang pintu gua tempatnya bersembunyi ditutupi jejaring laba-laba.

Di pintu rak bukunya, terdapat jejaring laba-laba, seandainya dindingnya bukan dari kaca, aku akan berkesimpulan bahwa di dalam tak ada apa-apa. Saat kulongok lebih teliti, rupanya buku-buku yang tersusun rapi di rak bawah, terutama di dekat pintunya, telah berhias jaring laba-laba.

Aku yakin buku-buku di dalam rak itu, akan awet karena jarang terjamah. Buktinya, mereka diamankan oleh jaring laba-laba, dan telah dilapisi debu. Tentu ini menunjukkan bahwa tangan manusia yang mungkin saja berminyak dan berpotensi merusak buku, tak akan menyentuhnya.

Wajahku yang kaget, mulutku yang sempat berseru kaget, membuat jemaah yang duduk membelakangi rak buku sempat berbalik dan menatapku keheranan, tapi aku tak mengacuhkan. Aku mundur sedikit dan berpikir, kulanjutkan mengambil buku dan membacanya, atau menahan diri.

Tak lama, kuputuskan menahan diri. Dengan melihat kondisi rak beserta buku-bukunya, sebuah pikiran muncul di benakku, mungkin saja memang buku ini sekadar pajangan, dan bukan untuk dibaca. Faktanya, dia ditata di rak kaca, sehingga gampang dilihat tanpa disentuh dan dipegang.

Kehadiran jaring laba-laba dan salut debu di buku-buku, secara simbolis menunjukkan bahwa memang buku-buku itu jarang disentuh, apalagi dibaca. Bahkan mungkin pengurus masjid, atau pihak yang menyediakan rak dan buku-buku itu di situ, juga tak pernah menyentuhnya.

Kondisi ini membuat aku penasaran ingin jumpa dengan pengurus masjid, atau pihak yang mengurusi rak dan buku-buku itu. Jangan-jangan mereka punya sejenis amalan yang bisa membuat jemaah tercerahkan hanya dengan memandang buku-buku dalam rak, tanpa harus menyentuh dan membacanya.

Bila memang amalan itu ada, tentu menjadi praktik baik yang bisa ditularkan dan ditiru oleh pengurus masjid atau pengelola perpustakaan di manapun berada. Bukankan ini sesuatu yang spektakuler dan bisa diusulkan untuk mendapatkan pengakuan UNESCO.

Tapi terlepas dari itu, sepertinya memang minat baca jemaah yang masih rendah. Sebab, sepanjang penantian yang hampir sejam itu, tak ada satupun jemaah, baik yang tua, remaja, atau anak-anak yang mendekat ke rak dan buku-buku itu, kecuali aku dan Aditya. Bahkan, jemaah yang duduk di dekat rak, memandang heran padaku.

Ini menunjukkan bahwa aktivitas membaca belum menjadi sesuatu yang menarik bagi jemaah, atau barangkali mereka terlalu menghayati tafsir atas perintah iqra, bahwa selain membaca teks, tak kalah penting membaca fenomena alam sekitar, karena pada dasarnya semua adalah ayat Allah Swt.

Entah mana yang benar, itu tak penting lagi. Yang lebih penting adalah bahwa aku kecewa karena tak berhasil mengakses bahan pustaka dari rak buku di masjid, kecewa itu makin perih karena ternyata aku kedahuluan laba-laba untuk menjamah buku-buku. Tragis.

Posting Komentar

0 Komentar