Sekolah, Benci Tapi Rindu


[ 31.05.2025 ] Agama itu candu atau religion is the opium of the people, adalah ungkapan populer, hampir semua kita pernah mendengarkannya. Sebuah kalimat pintas dari Karl Marx, tetapi mengakibatkan getaran besar di jagad sosial. 

Konon kalimat tersebut terekam dalam tulisan Karl Marx, Zur Kritik der Hegel'schen Rechts-Philosophie (A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right), yang pertama kali muncul dalam bentuk artikel pada tahun 1843.

Sayang, artikel tersebut bersama artikel lanjutannya tak pernah diterbitkan dalam sebuah buku yang utuh, hingga kematian Karl Marx

Kutipan itu, lengkapnya begini, Die Religion ist der Seufzer der bedrängten Kreatur, das Gemüth einer herzlosen Welt, wie sie der Geist geistloser Zustände ist. Sie ist das Opium des Volks.

Artinya, Agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat.

Tulisan ini tak berpretensi membahas soal agama sebagai candu, tetapi lebih pada bagaimana sesuatu itu menjadi candu. Bila Karl Marx menyebut agama itu candu, maka Roem Topatimasang mendaku Sekolah itu Candu.

Kalimat Sekolah itu Candu menjadi judul buku yang merupakan kumpulan tulisan pengantar diskusi untuk tugas kuliah Roem saat dirinya masih menjadi mahasiswa di IKIP Bandung sekitar medio 70an hingga awal 80an. 

Dalam buku kecil tersebut, sahabat Roem yang bertindak sebagai penyunting, Toto Rahardjo memasukkan 11 tulisan Roem yang terasa lebih seperti pamflet dibanding sebagai makalah tugas kuliah.

Tapi karena gaya menulis itu pulalah, maka buku ini, meski kecil, berhasil memberi guncangan besar pada dunia pendidikan, terutama model persekolah yang diimani secara haqqul yaqin selama ini.

Meski dicetak dan terbit pertama kali pada November 1998, ide-ide yang dilontarkan Roem terus memercikkan bara api dan memantik daya kritis pembaca akan realitas dunia pendidikan yang hanya menghamba padar tenaga kerja.

Celoteh-celoteh Roem masih relevan dengan dunia pendidikan kita dewasa ini, di mana sistem pendidikan, terutama sistem persekolahan masih terus memproduksi manusia-manusia yang terasing dari diri dan lingkungannya. 

Di tengah hasrat orang tua yang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah elit berbiaya mahal, Roem menulis begini, "Sekolah hanyalah satu tempat singgah menghabiskan waktu luang yang tersisa sekadar bersuka-ria selagi usia masih muda" (h. xvii).

Dengan cadas, Roem menyimpulkan bahwa sekolah bukan sesuatu yang netral dan bebas nilai, melainkan sekadar alat untuk, "mewariskan dan melestarikan nilai-nilai resmi yang sedang berlaku dan direstui" (h.33).

Gaya bertutur dan dialog yang ditampilkan oleh Roem pada beberapa artikel mampu membuat pembaca terpikat. Ada yang tersenyum sampai terbahak-bahak, ada juga yang seperti sulit menerima dan dahinya berkerut-kerut.

Seperti pada tulisan berjudul Sekolah itu Candu, Roem menceritakan bagaimana seorang siswa SMA merancang sebuah penelitian sendiri untuk memuaskan hasrat keingintahuannya, malah tak lolos masuk bahkan ditolak oleh beberapa perguruan tinggi terkemuka.

Menghadapi fenomena tersebut, masyarakat seperti menyesalkan penolakan lembaga pendidikan, tetapi yang Roem persoalkan adalah tak banyak yang bertanya, mengapa anak ini di tolak? (h. 96-97). 

Bagi Roem, ini menunjukkan bahwa, "Sekolah sudah terlalu sering disesali, tapi pada saat bersamaan sekaligus juga amat didambakan" (h. 97). Itulah situasi di mana sekolah menjadi candu, dibenci tapi didamba.

Ibarat Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) yang oleh negara ditetapkan sebagai barang ilegal dan oleh agama dihukumi haram, tapi pada saat yang sama diperdagangkan dengan harga selangit. 

Demikianlah sekolah yang telah menjadi candu itu. Disadari bahwa sekolah telah gagal memenuhi fungsinya -sebagaimana rumusan Benjamin Bloom, mendidik manusia untuk berwatak, berpengetahuan dan berketerampilan (h. 106).

Namun menurut Roem, "anda tetap tak tega "mematikan" lembaga yang telah ikut membesarkan anda..." (h. 110). Paling banter, "pada akhirnya juga cuma bisa bilang: absurd!" (h. 111).

Lalu bagaimana posisi Roem memandang sekolah yang bagi ahli teori pendidikan, Everett Reimer berani menyimpulkan bahkan menjadikannya sebuah judul buku, "Sekolah sudah mati!" (School is Dead, Penguin, Hammondsworth, 1971)?

Pada artikel kesebelas yang berjudul, Sekolah: dari Analogi ke Alternatif (h. 113), serta bagian Epilog dengan tajuk, Sekolah Masa Depan (h. 123) Roem menawarkan model sekolah yang menurutnya ideal.

Bagi Roem, sekolah itu harus kembali pada makna azalinya yang berakar pada kata dari bahasa Latin: skhole, scola, scolae atau schola, yang artinya, "Waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar" (h. 10).

Penasaran dengan dedahan Roem Topatimasang perihal sekolah secara lebih mendalam dan detil, buku ini patut dibaca bagi para pendidik, serta mereka yang berkecimpung dan atau punya kepedulian terhadap dunia pendidikan.

Tulisan ini merupakan resensi atas buku Judul: Sekolah itu Candu | Penulis: Roem Topatimasang | Penyunting: Toto Rahardjo | Penerbit: Pustaka Pelajar | Cetakan: Kedua, Februari 1999 | Halaman: 139 | ISBN: 979-9075-58-0

Posting Komentar

0 Komentar