[ 15.06.2025 ] Ini buku pertama karya Paulo Coelho yang kubaca. Meski namanya telah sering kubaca dalam tulisan orang lain yang mengulas karyanya atau sekadar mengutip kata-katanya. Aku memilihnya secara acak di antara lima novelnya yang kumiliki. Judulnya, Mata Hari (Cetakan pertama: November 2016). Kubaca saat malam begitu sulit dilalui dengan tidur nan lelap, di pertengahan Juni 2025.
Selain Mata Hari, buku-buku Paulo Coelho yang kumiliki adalah: Di tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis (Cetakan kedelapan: November 2013), Ziarah (Cetakan pertama: Februari 2011), Sang Pemenang Berdiri Sendirian (Cetakan keenam: April 2016), dan Zahir (Cetakan keempat: April 2011). Mungkin saja judul-judul ini akan bertambah, di suatu waktu nanti yang entah.
Jujur saja, karya pertama Paulo Coelho yang aku kenal sejak lebih dari dua dekade lalu adalah Sang Alkemis. Tapi belum pernah aku membuka dan menyimak isinya. Alasan mendasarnya adalah, aku belum memiliki Sang Alkemis, padahal konon novel yang pertama kali terbit tahun 1988 tersebut, telah diterjemahkan ke dalam 67 bahasa di dunia. Sebuah jaminan bahwa Sang Alkemis adalah novel menarik.
Kembali ke Mata Hari, Gramedia Pustaka Utama sebagai penerbit, memasukkannya dalam kategori Novel Dewasa, meski menurutku lebih pas masuk kategori Novel Sejarah. Sebab faktanya, Mata Hari menceritakan perjalanan hidup Margaretha Zelle, perempuan kelahiran Leeuwarden, Belanda yang menjadi mata-mata ganda antara Jerman dan Prancis pada awal Perang dunia pertama, lalu berakhir di tangan regu tembak Prancis.
Paulo Coelho mengaku mendasarkan penulisan Mata Hari pada beberapa karya tentangnya, bahkan termasuk dokumen-dokumen intelijen yang aksesnya terbatas. Semua itu dilakukannya untuk "menghidupkan kembali" sosok Mata Hari yang menurutnya tak akan pernah bisa dilupakan oleh sejarah.
Tapi bagi pembaca Indonesia, buku ini terasa spesial dengan adanya pesan khusus Paulo Coelho, sang penulis dari Brasil ini di bagian awal buku, tepat di belakang sampul, "To my readers in Indonesia, where parts of this story takes place, with all my love." Dan memang, salah satu titik bifurkasi kesadaran Margaretha, ada di Indonesia. Momentum baginya mengubah jalur kebebasannya.
Ya, Indonesia. Tempat yang bagi Margaretha adalah dunia eksotik yang dicapai setelah mengarungi lautan asing. Dan menurutnya, itu masih mending dibanding Belanda yang konservatif dan Protestan taat, peduh prasangka dan kejemuan. Indonesia adalah jalan keselamatannya dari trauma dirudapaksa oleh kepala sekolahnya di Leiden. Saat itu, ia baru 16 tahun.
Adalah Rudolf MacLeod, seorang perwira keturunan Skotlandia di ketentaraan Belanda yang lalu meminang dan menikahinya pada 11 Juli 1895, meski mereka berselisih usia sekira 21 tahun. Rudolf lalu membawanya berlayar ke tanah harapan, Indonesia. Tempat yang bukannya membebaskan justru menjadi penjara baru bagi Margaretha, yang saat itu dikenal sebagai Madame MacLeod.
Di Indonesia, ia menjalani hidup dengan suami yang menjelma demikian posesif. Kebebasannya dikekang, kesehariannya diisi dengan menjadi pelampiasan kekerasan Rudolf yang juga menjadikannya tak lebih dari sekadar budak seks. Margaretha mengakui menjalani hari-harinya dari perkosaan ke perkosaan, oleh suaminya.
Hingga suatu malam, ia mendampingi suaminya menghadiri sebuah pesta penguasa lokal. Ia datang bersama istri Andreas, rekan kerja suaminya. Di pesta itu, perempuan itu, istri Andreas bertitah, "Hanya cinta yang dapat memberi makna kepada sesuatu yangbila berdiri sendiri tidak memiliki makna sama sekali. Ternyata aku tidak memiliki cinta itu. Jadi ada alasan apa lagi untuk terus hidup?" (h. 44).
Istri Andreas tak membiarkan Margaretha meninggalkannya dan berkata, "Aku melakukan ini bukan untuk diriku sendiri, tetapi untuk semua wanita yang menjadi tawanan dalam apa yang katanya adalah kebebasan mereka," (h. 45). Ia lalu menembak dadanya sendiri, dan meninggal. Malam itu, Margaretha mengemasi barangnya, bersiap pergi keesokan harinya, naik kapal sendiri, menuju Rotterdam.
Bermodal biji bunga tulip beserta filosofi dari ibunya yang selalu ia bawa sejak menuju Leiden untuk sekolah, Margaretha menyongsong kebebasan baru. Ia berusaha lepas dari masa lalu, menanggalkan nama Margaretha Zelle, menjadi Mata Hari. Nama yang kemudian berkelindan dengan jejaring mata-mata Jerman dan Prancis, pada tapak awal perang dunia pertama.
Masih terngiang di ingatan Mata Hari, "Bunga mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada yang abadi: keindahan mereka, bahkan juga fakta bahwa mereka pasti akan layu, karena mereka masih akan memberikan benih baru. Ingatlah ini kalau kau merasakan sukacita, kepedihan, atau kesedihan. Segala sesuatu berlalu, menjadi tua, mati, dan terlahir kembali." (h. 30-31). Terang ibunya, Antje Zelle.
Dengan menggunakan Mata Hari sebagai narator yang berkirim surat kepada Mr. Clunet (Maitre Clunet), pengacara Mata Hari saat ditahan, Paulo Coelho lalu mengayun hidup Mata Hari menjadi penari pujaan kota Paris yang energik dan penuh daya kreatif. Mata Hari yang mengaku lahir di Indonesia, mempersembahkan tarian yang diklaimnya sebagai modifikasi tarian Jawa yang eksotik
Mata Hari bertengger di tahta tertinggi pertunjukan tari dan teater di Paris, sebelum akhirnya bermunculan penari-penari baru yang mengklaim diri sebagai pelanjutnya. Tentu saja dengan tarian yang lebih erotis dan berani. Karir Mata Hari perlahan tenggelam, dan ia memilih pindah ke Jerman, saat negara itu mulai bersiap untuk menyerbu Belgia.
Dengan bantuan Franz Olav, seorang pria yang merekrutnya ke Jerman atas permintaan seseorang di Kementerian Luar Negeri Jerman, Mata Hari mendapatkan kontrak pertunjukan berdurasi enam bulan dengan Metropol-Theater. Tapi tak lama sebelum perang pecah, Franz mengirim Mata Hari kembali ke Belanda, sebagai daerah netral. Tepatnya di kota The Hague (Den Haag).
Franz juga mengarahkan agar Mata Hari menemui seorang temannya yang Konsul Jerman di Belanda, Karl Kramer, disertai dengan pesan, "Jangan menerima apa pun yang mungkin ditawarkan Kramer." Meski akhirnya Mata Hari menerima tawaran Kramer untuk menjadi mata-mata Jerman dengan nama sandi H21. Untuk kesepakatan itu, Mata Hari mendapatkan imbalan dua puluh ribu franc dan perjalanan ke Paris melalui London.
Saat-saat Mata Hari kembali ke Paris, Paulo Coelho menceritakan kisahnya melalui tangan Mr. Clunet yang bersurat ke Mata Hari. Menurut Mr. Clunet, hukuman mati bagi Mata Hari adalah ulah dari kepala anti spionase Prancis saat itu, Georges Ladoux. Padahal, Ladoux adalah pihak pertama yang ditemui oleh Mata Hari begitu tiba kembali di Paris. Mata Hari melaporkan bahwa dia direkrut menjadi mata-mata Jerman dengan kode H21.
Kala itu, Mata Hari menjanjikan serta menegaskan komitmennya bahwa ia berpihak pada Prancis, dan siap memanfaatkan statusnya sebagai mata-mata Jerman untuk mencari informasi yang menguntungkan Prancis. Mata Hari memutuskan menjadi mata-mata ganda. Tapi sayang, Ladoux tak mempercayainya, bahkan ingin memanfaatkan Mata Hari untuk memperbaiki nama baiknya.
Demikianlah intrik itu berlangsung. Mata Hari memainkan pendulum kebebasannya dengan bersedia menjadi mata-mata Jerman untuk bisa kembali masuk ke Paris. Ia juga bersedia menjadi mata-mata Prancis agar bisa kembali memapankan kehidupannya di Paris. Titik itulah, menurut Mr. Clunet yang digunakan Ladoux. Iya menciptakan situasi untuk menuding Mata Hari sebagai mata-mata Jerman.
Sebelumnya, Ladoux memang telah diincar oleh pemerintah dan kehilangan kepercayaan publik atas kekeliruannya dalam kasus Dreyfus, yang oleh Mr. Clunet dijelaskan sebagai, "Kegagalan hukum yang sampai sekarang masih membuat kami malu -menghukum orang tak bersalah dengan melucuti harga dirinya dan membuangnya." (h. 147). Ladoux butuh kambing hitam untuk mengukuhkan kembali posisinya.
Selain menggambarkan kegetiran hidup perempuan di era perang dunia pertama, baik di jantung Eropa maupun di daerah koloni seperti Indonesia, kisah Mata Hari juga menggambarkan berapa usaha perempuan untuk menghalau kegetiran itu, lalu merengkuh kebebasannya, ibarat berenang di laut dalam penuh karang dan kawanan hiu. Mata Hari membayarnya dengan, kecantikan, keerotisan tarian, kemampuan seksnya.
Lebih tragisnya, dia bahkan harus menjadi korban permainan kekuasaan yang diorkestrasi oleh Ladoux. Mr. Clunet menulis, "Dia... mati-matian membutuhkan kasus sensasional agar dirinya sekali lagi dihormati di gendung-gedung pemerintah. Dan siapa yang lebih tepat untuk itu selain aktris terkenal yang dicemburui istri-istri pejabat dan dibenci kaum elite yang bertahun-tahun lalu memujanya?" (h. 147).
Tapi Mata Hari menantang itu semua dengan keberanian yang tepermanai. Pada 15 Oktober 1917, si depan regu tembak di barak Caserne de Vincennes, ia menolak memakai kain putih sebagai penutup mata yang disodorkan oleh salah seorang biarawati yang mendampinginya sejak meninggalkan sel 12 penjara Saint-Lazare. Ia memilih memandangi regu penembaknya.
Saat peluru dari dua belas anggota unit infanteri Zoua-ve menembus tubuhnya, Paulo Coelho menulis, "Selama seperempat detik, Mata Hari tetap tegak. Dia tidak terjerembab ke depan atau ke belakang, dan dia tidak mengangkat kedua tangannya ke atas. Tubuhnya merosot ke tanah, kepalanya tetap mendongak, matanya terbuka." (h. 19). Sebuah kematian yang berani, sampai-sampai salah seorang penembaknya jatuh pingsan.
Mungkin keteguhan hati Mata Hari, adalah manifestasi dari prinsipnya, "Dosa tidak diciptakan oleh Tuhan; dosa diciptakan oleh kita ketika kita mencoba mengubah apa yang tak terhindarkan menjadi sesuatu yang subjektif. Kita berhenti melihat keseluruhan dan akhirnya melihat hanya satu bagian saja; dan bagian itu dipenuhi rasa bersalah, aturan-aturan, kebaikan lawan kejahatan, dan masing-masing pihak menganggap dirinyalah yang benar." (h. 112).
Dan memang demikianlah adanya, Kapten Georges Ladoux yang mendakwah Mata Hari sebagai agen ganda, justru mendapatkan dakwaan yang sama, ia dituduh sebagai mata-mata Jerman pada 19 Oktober 1917, tepat empat hari setelah Mata Hari ditembak mati. Meski kemudian dibebaskan pada tahun 1919, Ladoux taknpernah mendapatkan kehormatannya kembali hingga ia meninggal.
Hal ini menguatkan spekulasi bahwa Mata Hari hanyalah korban dari ruwetnya permainan intelijen, terutama di saat perang berkecamuk. Bahkan pada tahun 1947, Andre Mornet, jaksa yang menjatuhkan vonis pada Mata Hari, bersaksi kepada seorang penulis Prancis, Paul Guimard, "Jangan beritahu siapa-siapa, tetapi bukti yang kami miliki begitu lemah sehingga tidak mungkin cukup untuk menghukum seekor kucing sekalipun" (h. 184).
Apa betul Paulo Coelho berhasil menghidupkan kembali cerita tentang salah seorang wanita paling misterius dalam sejarah? Atau justru kian merunyamkan teka-teki perihal tuduhan pada perempuan yang terlahir dengan nama Margaretha Zelle? Mungkin dengan mengakses Berkas Mata Hari dari dinas intelijen Inggris yang dibuka untuk publik pada tahun 1999, di National Archives, dengan kode referensi KV-2-1, dapat menjernihkan hal ini.
Tulisan ini merupakan resensi atas buku Judul: Mata Hari | Penulis: Paulo Coelho | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Cetakan: Pertama, November 2016 | Halaman: 192 | ISBN: 978-602-03-3613-8

0 Komentar