20 Juni, Pizza, dan Telur Asin


[ 20.06.2025 ] Nona, berapa usiamu tahun ini? Sudah tanggal 20 Juni lagi dan aku masih gagal menghitung dengan tepat berapa panjang waktu yang kau lipat dalam umur yang telah kau tempuh. Sejak kita bersepakat menjalani hidup bersama, 17 tahun silam.

Aku merasa kita melintasi waktu di luar kalender. Terkadang ia melar, ada kalanya ia menciut, mengikuti suasana kebatinan yang melingkupi kelindan haru biru kebersamaan kita. Meski satu yang pasti, tak ada waktu yang berlalu tanpa arti, kenangan itu terus terajut tanpa jeda, apalagi henti.

Hari ini seperti hari-hari lain di kebersamaan kita, selalu saja ada hal-hal kecil yang sungguh-sungguh berkesan. Pagi ini, kau menghampiriku yang masih berkaos oblong dan berselempang handuk. Aku bersiap untuk mandi. Di tanganmu ada es krim buatan sendiri.

Tiba-tiba, kau sodorkan sesendok es krim ke mulutku, padahal engkau tahu aku tak begitu suka dengan es, selain akan memicu flu, juga merangsang sakit di gigi dan gusiku yang sensitif. Tapi kusambut jua, dengan penasaran akan rasanya. Kutahu, es krim ini bikinanmu, kemarin.

"Ini tak terlalu manis, Kak. Cobalah!" Katamu dengan senyum yang selalu manis, meski pagi ini kau juga belum mandi, seperti diriku. Hai, begitu es itu meleleh di tenggorokanku, kau sodorkan sendokan kedua dan ketiga. Memang terasa lembut, manisnya pas, tak membuat enek.

Tapi bukan rasa itu yang penting, seiring es krim itu menyusur tenggorokanku, ada ingatan yang merambat pelan di kesadaranku. Engkau ulang tahun hari ini, dan tentu saja tak kulupakan, hanya saja kita tak punya kebiasaan merayakannya. Seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Nona, es krim ini traktiran ulang tahun ya." Kataku sambil tersenyum. "Harusnya saya yang ditraktir, Kak." Ujarmu. Aku bukan lelaki yang romantis, meski kutahu untuk memberi hadiah, tak perlu menjadi romantis. Tapi demikianlah kita, hadiah terindah adalah doa yang terulur lewat sorot mata.

Setelah itu, kutemui Fatimah, "Sudah memberi hadiah ulang tahun untuk ummi?" Tanyaku. "Sudah dong, aku beri jepitan rambut." Jelasnya. Kulirik Aditya, "Adit sudah memberi apa untuk ummi?" Selidikku. "Saya beri snack." Tanggapnya. "Dapat uang dari mana untuk beli snack?" Tanyaku lagi. "Aku pinjam dari Fatimah." Terang Aditya. 

"Kalau Khadijah, sudah memberi hadiah untuk mama?" Aku lanjutkan bertanya. Bukan Khadijah yang menjawab, melainkan Fatimah. "Sudah juga." Katanya. Wah, berarti tinggal aku yang belum memberi hadiah. Tapi harus memberi apa? Kuputuskan untuk membeli makanan saja.

Rencananya, akan kupesan makanan via layanan daring untuk dimakan bersama di rumah, sebentar malam. Aku ke kantor bersamamu, kita lalu sibuk dengan aktivitas dan urusan masing-masing. Hingga menjelang sore, dirimu izin untuk pulang duluan, pekerjaanku belum usai.

Jelang magrib, pesanmu muncul di layar gawaiku, "Kak, tolong singgah membeli telur bebek lima butir, serta abu gosok." Pesan itu lalu kujawab singkat, "Oke, nona." Gawai belum kusimpan, eh ada pesan baru, "Telur asin saja lima butir, tak usah abu gosok."

Di jalan pulang, aku mampir salat magrib di masjid dekat rumah. Usai menuntaskan zikir, kurenungkan dan kutimbang-timbang, makanan apa gerangan yang kupesan. Apakah makanan berat, atau kudapan saja. Tapi tentu saja tak sampai harus salat istikharah. 

Kuputuskan untuk pulang saja, nanti kutanyakan saja langsung ke anak-anak, apa yang enak untuk dinikmati bersama. Tapi begitu pintu kuketuk dan salam kuucap, Fatimah, Aditya, dan Khadijah berhamburan keluar menenteng masing-masing sebuah kotak pizza dengan varian yang berbeda.

"Hai, apa itu?" Tanyaku pura-pura. Padahal dalam hati, aku bergumam lirih, gagal lagi aku menjadi romantis. Rupanya malah kami yang ditraktir olehmu. Aku tersenyum, melihat keriangan Khadijah yang memutar-mutar kotak pizza-nya sebelum ia letakkan di atas meja.

"Pizza, papa. Mama yang beli." Dengan suara lantang Khadijah menjelaskan sambil menyebut satu merek pizza produksi lokal yang lagi naik daun pasca munculnya daftar produk boikot karena ditengarai mendukung genosida Israel atas Palestina.

"Wah, enak sekali ya." Aku masuk, kuletakkan tas kantor dan kantong berisi telur bebek. "Ini punyaku..." Khadijah membuka kotak punyanya dan memperlihatkan pizza yang tinggal sepotong. "Mimah dan Adit juga." Sambil membuka kotak kakaknya.

Aku beranjak, melongok ke kamar, kau masih di atas sajadah, menuntaskan zikir pasca magrib. Aku kembali ke ruang tamu, Aditya muncul dari dapur dan berseru, "Ini, ummi simpankan untuk abi." Sambil menyodorkan piring berisi tiga potong pizza dengan varian berbeda. 

Ada Beef Carbonara dengan daging striploin, jamur, keju slice dan mozarela. Ada Chezy dengan empat jenis keju, cheddar Slice, dan paprika. Juga ada Chezpeperony dengan ekstra cheese dan topping papparoni yang melimpah. Kunikmati ketiganya, meski setelah menyingkirkan papparoni dari varian Chezpeperony.

Tak lama, kau keluar kamar, "Kak, telur bebeknya mana?" Tanyamu. Kuangkat kantong plastik hitam berisi enam butir telur bebek. "Ini bahan untuk Aditya praktik membuat telur asin, besok di sekolah." Terangmu. "Fatimah, tolong beli satu liter abu gosok di Tante Melan." Lanjutmu.

"Terus, mana telur asinnya, Kak?" Tanyamu. Aku kaget, "Memang kita pesan, nona?" sambil membuka pesan di gawai. "Iya, Kak. Saya pesan lima telur bebek biasa, lima telur asin." Terangmu. "Wah, aku tak perhatikan. Aku pikir pesan lima butir telur bebek untuk dibuat telur asin." Aku berkilah.

"Jadi? Nona, aku keluar lagi untuk beli telur asin?" Tanyaku. "Tak usah, Kak. Nanti kita cari di lain hari." Jawabmu sambil tersenyum. Setelah itu kita kembali bergabung dengan anak-anak yang saling bertukar toping pizza, berebut papparoni, dan saling colek keju.

Ternyata, lupaku tak membuat waktu berhenti, anak-anak tetap tertawa saat saling menggoda, kita ikut tertawa sambil sesekali melerai. Waktu terus berjalan, semoga kita akan berjumpa kembali dengan tanggal yang sama, 20 Juni, di tahun yang berbeda, tahun depan.

Selamat ulang tahun, nona sayang. Lupaku membeli telur asin, menjadi hadiah ulang tahunmu kali ini. Tetap sehat, kian tabah menghadapi kita semua di rumah, dan maafkan aku, suamimu yang sudah mulai pelupa.

Ilustrasi Telur Asin (Foto : shutterstock.com/Mayawahadi)

Posting Komentar

0 Komentar