[ 20.06.2025 ] Siang, selepas salat jumat, perut mulai keroncongan. Saatnya mencari tempat makan. Dengan mengandalkan ingatan lama berbilang tahun silam tentang tempat makan yang enak di jantung Kota Turikale, kami bergerak.
Ya, kami berempat meninggalkan tempat aktivitas sementara kami di salah satu kompleks bangunan di belakang markas Polres Maros. Kami memilih makan siang pada warung depan kompleks perkantoran Pemda Kabupaten Maros.
Aku memacu kendaraan memasuki parkiran di jajaran ruko-ruko samping kanan Masjid Al Markaz Al Islami Maros. Suasana lengang siang tadi, parkiran sepi, padahal ini waktu makan siang. Kami berspekulasi tentang mengapa parkiran begitu sepi.
Setelah memarkir kendaraan, kami masuk ke salah satu warung, suasana juga sepi. Hanya seorang pelanggan yang sementara menanti pesanannya siap. Kami ikut antri di belakangnya. Warung ini menyediakan makanan rumahan dan pelanggan memilih sendiri sayur dan lauknya.
Aku memilih sepiring nasi putih, semangkuk sayur nangka berkuah rendang, sepotong kepala bandeng yang dimasak pallu kacci lengkap dengan lombok biji, serta sepiring kecil cobe-cobe tomat yang disempurnakan dengan seiris kecil jeruk nipis.
Kami lalu menikmati makanan masing masing dengan komposisi menu yang beragam, tergantung selera. Setiap suapan diimbuhi dengan perbincangan seputar pekerjaan yang sementara kami hadapi. Makanannya lumayan enak.
Melihat warung yang sepi, ditambah suasana warung yang lapang dengan meja kursi yang tertata rapi, seorang teman berkomentar bahwa pasti warung ini selalu ramai pada masa jayanya. Aku membenarkannya sambil menyinggung pengalamanku makan di warung itu, dulu.
Kembali kami mereka-reka alasang mengapa warung itu sepi, begitu pula warung-warung di samping kiri dan kanannya. Sampai pada akhirnya kami berkesimpulan, pelanggan berpindah ke warung-warung di belakang kompleks kantor Pemkab. Maros.
Saat kami beranjak naik ke mobil, seorang lelaki bertubuh gempal dengan celana jeans dan baju kaos oblong berjalan menghampiri. Di tangan kirinya tergenggam berlembar-lembar uang yang lecek dan kumal, sepertinya ia mencoba memperbaiki lipatan uangnya.
Mobil mulai mundur, lelaki itu mengetuk-ngetuk kaca jendela, mulutnya memberi arahan bahwa kami bisa keluar lewat pintu sebelah sana sambil menunjuk ke sebuah arah. Tangannya tengadah meminta uang parkir. Seorang teman menyodorkan selembar uang dua ribu rupiah.
Pertimbangannya, lelaki itu tak mengenakan identitas tukang parkir resmi, dan tak ada recu parkir di tangan, tentu saja ia adalah parkir liar. Standar parkir liar di Makassar adalah tiga ribu rupiah, di Maros akan lebih murah. Begitu pikir si teman, kami juga.
Rupanya ia minta tambahan, katanya itu kurang. Tak tanggung-tanggung, ia menyebut angka tujuh ribu rupiah. Awalnya kami berniat menolak, tapi tak enak mau berdebat perkara uang lima ribu rupiah. Tapi alasan utama kami, tampangnya sangar, dan rambutnya awut-awuran. Kami merasa terintimidasi.
Kami memilih menambah uang parkir, beranjak dan lalu mengoceh. Seorang temang berseloroh, ini lebih parah dari Makassar, biaya parkir untuk mobil di Makassar adalah lima ribu rupiah, nah yang di Maros ini mencapai angka tujuh ribu rupiah. Harga yang lumayan mahal.
Tapi yang membuat hati lebih prihatin adalah karena si tukang parkir tak kelihatan batang hidungnya saat kami masuk, dan dia baru muncul saat kami akan beranjak pergi. Sungguh seperti siluman. Lalu jasa apa yang ia tagihkan selain hak 'penguasaan' kawasan parkir?
Ditambah, uang itu tak masuk sebagai bagian pendapatan daerah, tetapi masuk di kantong pribadi, atau mungkin ke pihak lain yang tak ada hubungannya dengan pemerintah secara formal. Lebih parahnya lagi, peristiwa itu terjadi tepat di depan hidung pemerintah daerah.
Tentu saja, ini termasuk premanisme, 'pajak' yang tak jelas juntrungannya, pemalakan berbalut senyum. Celakanya, itu terjadi di tempat di mana kekuasaan seharusnya bekerja secara efektif bagi terciptanya ketertiban warga.
Seorang teman lalu bercelatuk, mungkin masalah parkir ini menjadi salah satu alasan mengapa pelanggan rumah makan di kawasan itu, yang dulu demikian ramai, sekarang begitu sepi. Biaya parkirnya, yang ilegal itu, yang tak resmi itu, demikian tinggi.
Tindakan lelaki bertubuh gempal itu adalah gambaran paling gamblang bagaimana pungutan liar begitu bebas terjadi di sekitar kita, bahkan di depan kompleks perkantoran pemerintah kabupaten Maros. Justru di sana, kekuasaan alpa dan abai.
Ya, inilah pungutan liar di teras istana.

0 Komentar