Aditya Panrita: Cendekia Yang Arif



[ 26.06.2025 ] Sambil duduk di depanku yang sementara mengupas telur rebus di meja makan, Aditya menyampaikan kabar, "Abi, tadi Tétta Raja datang, menjemput Adifa dan Raditya."
Tétta ada adalah sapaan karib kepada om dalam tradisi Makassar. Adifa dan Raditya adalah sepupunya, mereka menginap dua malam terakhir di rumah.
"Jadi, Adifa dan Raditya sudah pulang ya? Tak jumpa dengan Abi dong." Godaku. Aditya terkekeh.

"Wah, dengan siapa Tétta Raja, datang?" Tanyaku sambil mencocol-cocol putih telur di tanganku ke piring berisi racikan garam dan cabe rawit.
"Datang sendiri." Jelas Aditya, tangannya mengambil sebutir telur rebus.
"Saya juga mau telur, Abi." Sambil mengacungkan telur di tangannya.
"Iya, ambil saja, Nak. Telurnya memang direbus untuk dimakan." Ujarku. Kulirik, Aditya sibuk mengupas telurnya.

"Tadi, saat datang, Tétta Raja lama di sini atau sebentar saja?" Kembali kulontar tanya, kuraih gelas berisi air putih, kuseruput isinya hingga tandas. Cabe rawitnya lumayan pedas.
"Cukup lama, Abi." Timpal Aditnya, matanya melotot tajam pada telur di tangannya, kulitnya masih tersisa separuh, "Kupaskan, Abi." Lanjutnya.
"Oh." Responku singkat. Kuraih telurnya,  kutuntaskan kupasannya, kuserahkan kembali.

"Jam berapa tadi Tétta Raja tiba?" Aku mengambil telur butir kedua, sebelum kukupas, kutatap Aditya yang mulai menikmati telur rebusnya, dia memilih mencocol-cocol telurnya ke piring berisi kecap manis.
"Tunggu dulu Abi," ia meletakkan telurnya di tepi piring kecap dan dengan sigap berdiri.
"Mau ke mana? Habiskan dulu telurnya." Kuraih lengannya agar ia duduk kembali.

Setelah menjejalkan telur rebus ke mulutnya, Aditya kembali berdiri, "Saya mau liat jam dulu, Abi."
"Melihat jam, untuk apa?" Selidikku.
"Kan Abi bertanya jam berapa tadi Tétta Raja datang." Aditya menjelaskan maksudnya.
"Terus, kenapa harus lihat jam?" Mataku mendelik, belum paham maksudnya.
"Kan memang harus lihat jam, untuk tahu jam berapa." Aditya tak mau kalah. Aku terdiam mencoba mencerna arah pembicaraan.

"Betul, untuk mengetahui jam berapa, kita butuh melihat jam. Tapi kan Abi bertanya, Tétta Raja datang jam berapa?" Kembali kuulangi pertanyaanku, dengan pelan
"Ya itu, saya harus lihat jam, karena saat Tétta Raja datang tadi, saya tak sempat melihat jam." Aditya berlari ke ruang tamu, menatap lekat ke arah jam dinding, dahinya berkerut, telunjuk kanannya menekan-nekan dahinya. Mungkin ia mencoba menerka, jam berapa Om-nya datang, tadi.

Aku tersenyum dikulum melihat tingkah polah dan alur pikir Aditya. Anak keempatku yang menyandang nama lengkap Aditya Panrita Tenri Angka, dengan imbuhan Daéng Sibali dari neneknya, memang tak pernah kehabisan argumen. Selalu saja ada alasan yang bisa dia kemukakan atas setiap soalan yang diajukan terhadapnya. Kadang ummi-nya berseloroh, "Mungkin karena namanya Daéng Sibali, Kak. Jadi setiap apa yang disampaikan, dia selalu punya pappibalinna, hehehe..."

Kembali ke pertanyaan perihal jam dan Aditya, ingatanku melayang jauh pada seseorang yang namanya selalu dikaitkan pada tingkah polah yang kelihatan konyol, bambung, pandir, dan membuat orang-orang tertawa. Meski bila direnungkan, ada makna mendalam di sebalik itu semua. Seseorang itu dikenal dengan nama Abu Nawas.

Syahdan di suatu malam selepas isya, Abu Nawas terlihat mondar-mandir sambil mengorek-ngorek dedaunan kering yang berserakan di tepi jalan, tepat di bawah lampu penerang. Sesekali ia membungkuk seperti hendak memastikan sesuatu. Aktivitas tersebut telah ia lakukan hampir sepenanak nasi. Keringat mengucur di dahi dari balik serbannya .

Melihat hal tersebut, seorang tetangganya mencoba mendekat dan menanyakan apa gerangan yang ia lakukan. "Saudaraku, apa gerangan yang dikau lakukan?" Tanya si tetangga. Medengar itu, Abu Nawas hanya menatap tetangganya sejenak, lalu melanjutkan aktivitasnya.
"Dari tadi kusaksikan dikau mondar-mandir di situ, seakan mencari sesuatu." Lanjut si tetangga.
"Kalau engkau sudah tahu apa yang aku lakukan, lalu buat apa engkau bertanya?" Tanggap Abu Nawas tanpa mengalihkan perhatiannya.

"Benda apa gerangan yang hilang dari dikau, saudaraku?" Kembali si tetangga melontar tanya.
"Aku kehilangan cincinku. Namun, bila engkau hanya terus bertanya dan tak bisa membantuku mencarinya, mending pergi dan menjauh dariku." Abu Nawas mendelik ke arah tetangganya lalu kembali mencari cincinnya.
"Memangnya cincinmu hilang di mana?" Tanya si tetangga.
"Di rumah." Jawab Abu Nawas, singkat. Si tetangga terdiam, merasa ada yang aneh dengan jawaban Abu Nawas.

"Lalu mengapa dikau mencarinya di sini? Tentu dikau tak akan menemukannya. Bukankah cincinmu hilang di rumah? Bagaimana bisa ia bisa berada di sini? Ini perbuatan yang sungguh pandir." Si tetangga geleng-geleng kepala. Abu Nawas tersentak, ia hentikan pencariannya.
"Justru engkau yang tolol, saat ini di rumahku lagi gelap, pelitaku kehabisan minyak. Bagaimana aku bisa mencari dan menemukannya dalam gulita?" Nafas Abu Nawas memburu, menahan kesal. Si tetangga tersenyum masygul.

Dari kisah Abu Nawas, kita bisa melihat model pemikiran yang out of the box, keluar dari cara berpikir yang lazim. Dalam perspektif sufistik, cerita ini menawarkan jalan pencarian diri, bahwa bisa saja kita terlena pada jalan yang sepertinya lurus nan lempang, tetapi tak akan mengantarkan kita ke tujuan. Seperti mencari cincin di tepi jalan yang terang, padahal cincinnya terjatuh di dalam rumah yang gelap.

Kuharap, dengan menuliskan cerita Aditya Panrita Tenri Angka yang bersanding dengan kisah Abu Nawas, ini menjadi semacam doa agar kelak Aditya bisa menjadi manusia yang bersinar dengan kepandaian dan kebijaksanaan, sebagaimana makna nama itu dalam bahasa Sanskerta, yang senafas dengan Panrita dalam bahasa Bugis, cendekia yang arif. Kecendekiaan yang menyempurna dan tepermanai, sesuai makna Tenri Angka.

Lalu Daeng Sibali, adalah pengharapan agar Aditya mampu mengimbangi berbagai dalih dangkal nan keliru dengan hujah-hujah mendalam, tepat, dan kukuh. Argumen yang meyakinkan dan tak terbantahkan. Seperti pesan leluhur, bahwa seorang Panrita, berkata tak terbantah, bersuara tak tersanggah.
ᨆᨛᨈᨙ  ᨈᨛᨋᨗᨅᨒᨗ
ᨆᨔᨉ  ᨈᨋᨗᨔᨘᨇᨒ
Mettéq teng ribali
Massadda teng risumpala


Tulisan ini sebagai refleksi untuk Aditya Panrita Tenri Angka yang menerima Laporan Hasil Belajar Siswa (LHBS) Kelas III, dan dinyatakan naik ke Kelas IV SD.


Posting Komentar

0 Komentar