Iqamat Al Hijrah Ala Isma'il R. Al-Faruqi



[ 27.06.2025 ] Semalam, saat sebagian umat Islam melewati pergerakan waktu dengan mengadakan pawai obor, menggelar majelis doa dan zikir, aku menghabiskan waktuku dengan mendaras sebuah kita kecil karya cendekiawan muslim berkebangsaan Palestina, Prof. Isma'il Raji Al-Faruqi, Hakikat Hijrah: Strategi Dakwah Islam Membangun Tatanan Dunia Baru. Sebuah buku lawas terbitan 1985.

Kita semua tahu bahwa 1 Muharram adalah Tahun Baru Islam, kita juga tahu bahwa kalender hijriah adalah almanak Islam. Namun tidak semua tahu bahwa penetapan 1 Muharram pada tahun 1 Hijriah dan penamaan penanggalan Hijriah, mengacu pada peristiwa hijraturrasul, pada tahun 622 Masehi. Kala itu, manusia agung Muhammad Saw meninggalkan Makkah menuju Yasrib.

Lalu, apa dasar pemikiran sehingga peristiwa itu dipilih sebagai awal almanak oleh kaum muslimin? Mengapa bukan hijrah ke Habasyah? Al-Faruqi mengatakan karena peristiwa hijraturrasul-lah, yang kemudian "berhasil menegakkan negara Islam pertama di Madinah" (h. 9-10). Sedangkan hijrah ke Habasyah sebatas "gerakan menghindari penganiayaan demi keselamatan" (h. 10).

Meski secara hurufiah, hijrah berarti "perpindahan ke lain negeri" atau "pemisahan diri dari handai tolan atau negeri asal" (h. 7), tetapi dengan bersandar pada hijraturrasul, Al-Faquqi mendefinisikan hijrah sebagai "keberangkatan Nabi Muhammad Saw. dari Makkah Al-Mukarramah, tempat kelahiran dan kota beliau, ke Yasrib, yang sejak saat itu dikenal sebagai 'Madinat al-Nabiyy' atau 'al-Madinat al-Munawwarah'" (h. 7).

Namun hijrah tidak terbatas pada peristiwa masa lalu, bahkan secara progresif Al-Faruqi mendorong interpretasi hijrah yang berdimensi kemasadepanan yang berimplikasi bagi perubahan, bukan hanya perpindahan personal dan geografis, melainkan juga perubahan sosial, dan struktural. Seorang muslim bisa saja berhijrah, tanpa harus meninggalkan rumah.

"Hijrah menjadi praktek keagamaan terbesar, yaitu, untuk meninggalkan tuntutan-tuntutan keduniaan demi kesalehan: penccurahan tenaga demi kesucian dan kemuliaan, mempelajari ilmu-ilmu yang meneguhkan keimanan, mengabdi kepada Allah, pengetahuan dan kemanusiaan" (h. 12). Dalam pemahaman inilah, Al-Faruqi menegaskan pentingnya merayakan hijrah.

Perayaan atau dalam bahasa Al-Faruqi, iqamat, bukan semata mengenang hijraturrasul dari Makkah ke Madinah, melainkan meneguhkan komitmen untuk siap meninggalkan dan menanggalkan apapun yang menghambat tegaknya peradaban Islam. Iqamat bukan romantisme masa lalu dalam kisah heroik, melainkan bagaimana orientasi hijrah: tegaknya negara Islam, diejawantahkan di masa kini.

Al-Faruqi menegaskan bahwa dimensi terpenting dari hijrah adalah tegaknya negara Islam, dan hijrah adalah puncak persiapannya. Dalam risalah kecil ini, sepanjang halaman 32 sampai dengan halaman 56, Al-Faruqi mengurai ciri-ciri yang dituntut oleh Islam, yang dengan ciri-ciri ini, kita bisa melihat perbedaan hakiki antara negara Islam dengan negara-negara lain. Ciri-ciri itu adalah universalisme, kedaulatan, kebebasan, dan kemenyeluruhan.

Pertama, universalisme. Bagi Al-Faruqi, ini bermakna bahwa negara Islam tidak tergantung pada lokasi maupun seseorang, meski pada saat yang sama harus mempunyai wilayah dan rakyat. Universalisme wilayah tersebut sebagai titik awal upaya menjangkau seluruh permukaan bumi. Sedang universalisme rakyat menutut tak adanya penbedaan berdasarkan suku, agama, ras, kelahiran, dan identitas lain.

Kedua, kedaulatan. Negara Islam mengakui bahwa kedaulatan adalah milik Allah, tetapi bukan mengambil bentuk negara reokrasi di mana ketentuan Allah ditegakkan oleh para pendeta. Kedaulatan Allah bermakna bahwa Allah-lah sumber segala norma, maka negara Islam adalah negara berbasis hukum. Maka pemimpin dalam negara Islam tak lebih dari fungsi manusia sebagai mahluk yang berkewajiban melaksanakan ketentuan Allah.

Ketiga, kebebasan. Dalam penjelasannya, Al-Faruqi menyebutkan bahwa manusia dianugerahi kebebasan untuk memenuhi kehendak ilahi melalui pilihannya. Bila tanpa kekebasan, maka ketundukan pada kehendak ilahi hanya bersifat mekanik, tak ubahnya binatang, sehingga tindakannya hanya bernilai guna. Namun dengan kekebasan, manusia bisa memilih untuk tunduk atau tidak. Bila dia memilih tunduk, maka tindakannya, selain bernilai guna, juga bernilai akhlak.

Keempat, kemenyeluruhan. Negara Islam akan menegakkan kehendak ilahi secara sempurna dan menyeluruh, atau dalam bahasa Al Quran, kaffah. kehendak ilahi yang termanifestasi dalam Al Quran meletakkan nilai-nilai dan tujuan setiap aktivitas. Hal ini lalu diberi tuntunan implementasi melalui Sunnah, serta memberi kemungkinan bagi aturan hukum dalam negara Islam mengalami perkembangan.

Selain menjelaskan ciri-cirinya, Al-Faruqi juga mengemukakan pikirannya tentang rencana bagaimana negara Islam tersebut diwujudkan. Termasuk bagaimana menjalankan dakwah kepada non-Islam, serta peran para muhajir baru atau diaspora muslim ke berbagai belahan dunia dalam mendorong negara Islam menjadi imperium. Sebab bagi Al-Faruqi, "Negara Islami yang didirikan oleh Nabi Muhammad Saw. pada masa hijrah bukanlah sekadar sebuah negara, tetapi merupakan tatanan dunia" (h. 188).

Buku ini perlu dibaca oleh aktivis muda muslim yang percaya bahwa hijrah adalah salah satu peristiwa sejarah penting dalam rangkaian mewujudkan kehendak ilahi di bumi, dan iqamat hijrah adalah langkah kontekstualisasi perjuangan membangun tatanan baru dunia berdasarkan Islam. Meski memang beberapa paparan terkesan sekadar kesimpulan dari argumen panjang yang sayang sekali tak dipaparkan dalam buku ini.

Hal menarik lain adalah Al-Faruqi pada argumen bahwa negara Islam bukanlah teokrasi, meski kedaulatan tertinggi berada di tangan Tuhan yang termanifestasi melalui hukum ilahi, tetapi kepemimpinan bukan melalui pemuka agama, melainkan oleh pihak yang diamanahi oleh para ahli hukum. Mengapa ahli hukum, sebab merekalah yang memegang otoritas untuk menginterpretasi dan bertanggungjawab bagi perkembangan konstitusi negara Islam seturut perkembangan zaman.

Apa yang dipaparkan oleh Al-Faruqi mirip dengan konsep wilayah al faqih yang berasal dari pikiran-pikiran Imam Khomeini dan diimplementasikan negara Republik Islam Iran hari ini. Dimana posisi urgen para faqih dimanifestasikan oleh seorang pemimpin yang dipilih oleh sekelompok faqih. Mungkin kajian komparasi atas hal ini bisa memperkaya khazanah pemikiran kaum muslimin dalam mewujudkan tata dunia baru.

Tak kalah penting, "iqamat hijrah takkan berarti bila sang Muslim yang memiliki pandangan Islam tak memulai dengan sungguh-sungguh menyeru sesama Muslim dan umat manusia untuk bersama-sama mengupayakan suatu tatanan damai, keadilan, kesalehan dan kebajikan dunia" (h. 123).

Salah satu langkah utama yang menopang iqamat hijrah adalah baiat. Al-Faruqi mengutip hadis nabi bahwa, "Seorang Muslim yang mati tanpa ikut ambil bagian dalam dalam setidaknya satu bait (perjanjian untuk mengangkat seorang khalifah-tindak politik utama) maka ia mati dalam keadaan jahiliyah" (h. 32). Meski sayang sekali, pondasi inilah yang dilupakan oleh banyak kelompok Islam dan kaum muslimin.

Padahal, bila mengacu pada firman Allah SWT, "Sungguh, Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat," (Q.S. 48 : 18), terang-benderanglah bahwa salah satu syarat kemenangan bagi kaum muslimin adalah berbaiat.

Sudahkan anda berbaiat? Kepada siapa anda berbaiat? Membaca buku ini mungkin bisa menjadi salah satu alternatif bacaan dalam merangkai ketersambungan epistemologis antara hijrah, baiat, dan tatanan dunia baru.

Tulisan ini merupakan resensi atas buku Judul: Hakikat Hijrah | Penulis: Prof. Isma'il R. Faruqi | Penerbit: Mizan | Cetakan: Keempat, April 1993 | Halaman: 123 | ISBN: - 

Posting Komentar

0 Komentar