[ 05.07.2025 ] Ini kali pertama aku menginjakkan kaki di tempat yang dikategorikan warung kopi tua. Ruang persegi, yang dibungkus dengan dinding kayu dicat warna kelabu, di sisi atas terdapat lampu gantung bercahaya remang. Ini sesuatu yang aneh, memasang penerang, tapi sengaja dibuat suram.
Apa mereka yang punya ide tentang ini, begitu menyukai bersembunyi dalam bayang-bayang? Bukankah bayangan akan melebur dan melebur dalam suasana temaram? Ataukah ini semacam oase bagi mereka yang berhati rawan? Hingga air mata tak akan tampak di pelupuk?
Pada salah satu sisi, terdapat meja panjang setinggi dada, di sana ada mesin pembuat kopi, blender jus, dan entah apa lagi, berbagai peralatan meramu minuman yang masih terasa asing bagiku. Di baliknya, seorang lelaki muda dengan muka klimis, berselempang sarung dan berpeci hitam lusuh, mungkin dialah baristanya.
Di sana juga tertata beberapa set teko, mug, dan lepek brilik jadul berwarna hijau. Sepertinya itu digunakan untuk menyajikan kopi tubruk. Memang kulihat beberapa pengunjung berusia paruh baya, menghadapi meja kayu antik dengan satu set peralatan minum brilik di atasnya.
Perlahan, musik tradisional dengan instrumen tunggal, entah itu gitar atau piano, menelusup masuk ke lubang telinga, membuatku sedikit merasa mengantuk, atau seperti membawaku ke sebuah era yang lampau, entahlah. Pengunjungnya memang didominasi pria-pria yang tak banyak cakap.
Hanya ada dua pengunjung lain yang duduk di kursi menghadapi meja yang berbeda, mereka berusia lebih muda dariku, sekira dua puluhan tahun. Aku juga memilih duduk menghadapi meja terpisah. Kita membangun privasi masing-masing di dalam ruang kotak kelabu sempit itu.
Seorang remaja tanggung, dengan sarung palekat kotak-kotak biru muda menghampiriku. Sambil menggaruk kepala di balik kopiah dengan tangan kiri, tangan kanannya menyodorkan daftar menu yang dicetak di buku lebar, namun disampul dengan potongan tikar anyaman.
Tak banyak pilihan jenis minuman di sana, hanya beberapa varian kopi dan penganan tradisional, serta beberapa jenis jus yang telah masyhur. Dengan sigap kupilih sebuah minuman dengan nama yang karib, jus buah naga. Selain buah naga, warung kopi ini juga menyiapkan jus jeruk dan jus alpukat.
Aku penasaran dengan sensasi rasa dari buah naga yang diolah menjadi jus. Jujur, ini pertama kalinya aku akan mencobanya. Selama ini aku hanya pernah merasai jus jeruk, dan sesekali jus alpukat. Maklum, warung kopi, kafe, dan tempat sejenis termasuk jarang aku kunjungi.
Soal buah naga, kampungku di Soppeng menjadi salah satu penghasil buah naga terbesar di daerah ini. Tapi itu dulu, sebelum ulat yang entah dari mana asalnya menyerbu dan lalu meluluhlantakkan harapan baru tetangga dan karib kerabatku setelah padi tak lagi mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup akibat sawah yang dikutuk oleh keringnya saluran irigasi.
Nama warung kopi tua ini tertulis di plat papan yang tak simetris dan tergantung di belakang meja barista, samar kulihat terbaca KENANGA. Entah disengaja atau itu hasil perbuatan tangan iseng, sepertinya ada huruf N yang tanggal dari kata itu. Bekasnya masih membayang samar. Tempat ini bernama KENANGAN.
Tapi tentang kenangan, hingga kini aku masih selalu penasaran, mengapa tempat-tempat sejenis warung kopi, kafe dan sejenisnya, begitu suka dengan kata itu. Mungkin karena pengelola berusaha menjadikan tempatnya sebagai ruang bagi pengunjung untuk menjelajah ke masa silam.
Ya, masa silam, seperti apapun bentuknya, menyenangkan atau menyakitkan. Ini pula mungkin yang menjadi alasan mengapa tempat-tempat begini memilih untuk bercahaya temaram. Agar seperih apapun luka yang tergores, serius apapun kesenangan itu di kenangan, semua samar-samar.
Keremangan, musik yang menghanyutkan kalbu, berpadu dengan aroma kopi yang sangit, menjadi medium yang hangat bagi berpendarnya memori dan imajinasi. Ingatan berkelana membentuk dan menafsir ulang peristiwa silam, menjadi lebih ramah bagi hati yang rawan.
Situasi ini mengingatkanku pada fatwa rindu K.H. Ahmad Mustofa Bisri. Ulama yang juga penyair dan lebih karib disapa Gus Muh ini pernah bersabda, "Pena di tangan kanan, kopi di tangan kiri, dan kertas di atas meja. Tapi kau tak di sampingku, maka apa yang bisa kutulis selain kata rindu?"
Tempat-tempat di mana kenangan sengaja dipancing dan distimulus untuk menyeruak ke permukaan lalu dinikmati dengan iringan instumentalia melankolis, memanglah akan memantik rindu, hasrat untuk menjangkau peristiwa-peristiwa silam. Seperti di warung kopi tua ini.
Aku juga rindu, rindu yang menggebu-gebu, rindu yang mengharu biru, rindu yang mengaduk-aduk kalbu. Kubasuh tenggorokan yang kering dengan kopi pahit beraroma gula aren. Jus buah naga yang kupesan di awal telah kuganti dengan kopi. Kusesap pelan ampas kopi yang mampir di bibir. Sepatnya menawar pekatnya hati karena kenangan nan getir.
Aku larut dalam suasana yang hening, kilasan-kilasan peristiwa menyeruak. Di sini, di warung kopi tua, aku menjadi penyaksi, berlayar dari satu fragmen ke fragmen lain, tanpa urutan waktu linear, serupa berlayar di tengah badai, terombang-ambing dari satu pulau karang ke atol yang lain.
Mungkin aku akan berkunjung ke tempat ini berkali-kali. Kunjungan kali ini berhasil menyajikan padaku seduksi yang kuat. Sebagai lelaki, aku menyukai berumah dan hidup berkali-kali di kenangan. Dan tempat ini mampu menghadirkan hal tersebut.

0 Komentar